Home Kajian Utama Tak Semua Kecerdasan itu Menyelamatkan!
Kecerdasan yang diperlukan

Tak Semua Kecerdasan itu Menyelamatkan!

by Mas Imam

Shubuh belum berlalu lama, namun pagi itu benar-benar semacam datang pancaran sinar yang menggodaku untuk duduk dan membaca. Membaca untuk segera membedakan apa itu cerdas dan iman. Dan, ternyata tak semua kecerdasan bisa menyelamatkan manusia.

Walaupun penting dipahami, dalam kasus kebanyakan, kecerdasan memang diperlukan. Namun ia seperti pisau, jika disalahgunakan pasti menimbulkan kejahatan dan malapetaka. Inilah yang saya maksud bahwa ada kecerdasan yang justru menyengsarakan.

Kecerdasan yang telah menyimpang itu, kata Alquran menjadikan jiwa, akal, dan harapan-harapan manusia menghamba kepada hawa nafsu.

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS. Al-Furqaan [25]: 43).

Hasan Al-Bashri berkata, “Tidaklah ia menginginkan sesuatu kecuali ia turutinya.”

Dua Keadaan

Dalam realitas politik, kecerdasan ini bisa berada dalam dua keadaan. Pertama memang makna aslinya, yaitu orang yang cerdas. Kedua, bisa bermakna lain, yaitu penguasa yang menguasai orang-orang yang punya kecerdasan.

Fir’aun itu telah mengetahui bahwa seluruh tukang sihir kenamaan yang diundangnya mengalahkan Nabi Musa telah tercerahkan.

Namun, Fir’aun bersama Bal’am (orang-orang cerdas) tetap pada kekafiran.

Pada saat itu, tak ada gunanya lagi eksistensi Fir’aun dan para Bal’amnya di hadapan Tuhan, sehingga tidaklah waktu yang dilalui melainkan semakin mendekatkan mereka pada kebinasaan.

Saat ini di Indonesia utamanya, orang dikatakan cerdas kala telah menempuh jenjang pendidikan formal, puncaknya kala lulus doktoral. Umumnya, mereka didengar dan mendapat ruang “istimewa” di beragam media massa. Tetapi, apakah pendapat dan sikap mereka benar-benar cerdas?

Di sini sejarah tukang sihir Fir’aun bisa dijadikan timbangan. Selama ia tegak di atas nilai keimanan, tunduk pada kebenaran dan tidak memiliki pretensi terhadap kekuasaan, maka mereka adalah orang yang patut didengar pendapat dan argumentasinya.

Sebaliknya, jika mereka adalah orang yang telah kehilangan rasa percaya yang amat sangat terhadap iman, buram nalarnya dalam memahami hakikat hidup, sudah barang tentu, tanda-tanda kecerdasan (seperti pandai bicara, banyak argumen) hanya dijadikan kendaraan untuk mencapai kesenangan pribadi tidak dapat dipungkiri.

Tak perlu sesama intelektual yang mengerti, rakyat biasa pun muak.

Cerdas dalam Islam

Sebagai agama paripurna, Islam punya definisi dan kriteria yang jelas terhadap kata yang satu ini, cerdas.

Berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW, orang yang cerdas adalah yang menahan hawa nafsunya untuk (kebahagiaan) hidup setelah kematian.

Apakah ada kehidupan setelah kematian? Menjawabnya sederhana saja, “Apakah ada kehidupan sebelum kelahiran manusia di muka bumi?”

Baca Juga: Khutbah Jumat yang Menyengat

Mau mengatakan tidak, faktanya ada. Mau dikatakan ada, tak satu pun bisa hadirkan bukti dan memiliki pengalaman. Sama dengan kehidupan setelah kematian. Jadi, akal manusia memang tidak untuk ke arah itu, melainkan memahami apa yang Tuhan kehendaki.

Yang pasti, penjahat jika tidak taubat akan hidup dalam kesengsaraan dan mati dalam kebinasaan yang mengenaskan. Rumusnya begitu. Sebaliknya, orang sholeh dan dia istiqomah hingga ajal, maka kebaikan-kebaikannya akan terus hidup dan menginspirasi banyak orang.

Jadi, kalau ada orang cerdas dalam pengertian akademik diam saja dengan segala kerusakan dan perilaku aneh (untuk tidak mengatakan khianat kepada rakyat) para pemimpin, bisa dipastikan ia telah terkecoh oleh kehidupan dunia dan mengabaikan eksistensi kehidupan setelah kematian yang jauh lebih hakiki dan abadi.

Belum Hadirnya “Ilmu Jauh”

Kalau kita coba bertanya lebih mendalam, mengapa semua itu bisa terjadi?

Orang cerdas jadi bisu terhadap pengkhianatan, buta terhadap kebenaran, dan tuli terhadap keadilan?

Tidak lain karena ilmu yang dipahami sebagai kebenaran tidak didekatkan dalam realitas kehidupan, sehingga iman yang harusnya menjelma, justru terpasung oleh hawa nafsu.

Kecerdasan butuh iman

Kecerdasan butuh iman

Dalam kata yang lain, ilmu jauh itu tidak memengaruhi cara berpikir dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk memahami apa itu ilmu jauh kita bisa lihat bagaimana itu ilmu dekat.

Ustadz Suharsono pernah menuturkan masalah ini kepada saya dan teman-teman.

Kalau seseorang mendengar bunyi ledakan tidak jauh dari tempatnya berada. Kemudian ia menyaksikan orang lari tunggang langgang, apakah orang yang mendengar itu akan tenang-tenang saja, atau ikut berlari terbirit-birit?

Jawabannya bisa ditebak, akan bingung dan akhirnya lari tidak karuan. Intinya orang lari, dia akan ikut lari. Pengetahuan tentang ledakan dan penglihatan perihal respon orang berlari, secara menyeluruh berhasil memengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah tindakan.

Baca Juga: Awal Kali Manusia Tergelincir

Sumber Ilmu Jauh

Sedangkan Alquran, Hadits, Atsar sahabat dan ungkapan-ungkapan hikmah para ulama, itu adalah ilmu yang indera tidak bisa dengan segera menjangkau apalagi merasakannya, sehingga responnya menjadi biasa atau bahkan tidak ada respon sama sekali. Dalam konteks inilah “Ilmu Jauh” itu dimaksudkan.

Ketika Alquran mengatakan bahwa orang yang beriman dan beramal sholeh akan masuk surga, faktanya sekarang, amal sholeh atau tidak orang hidupnya sama. Bahkan orang-orang kafir bisa hidup lebih nikmat dari sisi keduniawian. Jadi, untuk apa beriman dan beramal sholeh. Itu logika umumnya.

Tetapi orang yang jiwanya tercerahkan ia akan melihat bahwa apa yang ada di dalam Alquran itu adalah postulat, tidak mungkin tidak kecuali pasti terjadi. Maka ia akan berusaha sekuat tenaga mengisi kehidupan ini dengan peningkatan iman terus menerus, termasuk peningkatan amal sholeh.

Akibatnya ia menjauh dari yang haram. Berani melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Dan, tidak melakukan melainkan apa yang dipandang baik oleh Allah Ta’ala.

Para Nabi dan Rasul adalah bukti adanya orang-orang yang yakin pada ilmu yang jauh. Dimana semua uraian kebenaran dalam Islam seutuhnya diyakini dan diperagakan.

Cerdas itu Ada Karya untuk Umat Manusia

Oleh karena itu, kala kita tengok sejarah, orang-orang yang cerdas dan beriman, cenderung mampu menghasilkan satu prestasi kerja dan karya yang luar biasa.

Seperti Muhammad Al-Fatih dalam penaklukkan Konstantinopel.Imam Syafi’i dalam karya kitab. Dan, para mujahid dalam beragam temuan keilmuan. Termasuk para sejarawan dalam memahami masa lalu yang gemilang dari peradaban Islam.

Pada akhirnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa kecerdasan itu diperlukan.

Namun, ibarat tanaman, ia perlu disirami oleh keimanan. Ketika keimanan bisa memberi nutrisi dan energi pada kecerdasan, maka saat itulah beragam kebaikan dan kemaslahatan akan hadir dalam kehidupan. Insha Allah.*

Mas Imam Nawawi Ketua Umum Pemuda Hidayatullah
Bogor, 21 Jumadil Awwal 1442 H

Related Posts

Leave a Comment