Sesi kedua pelatihan yang saya ikuti di Hidayatullah Institute membuatku mantap pada sikap mental: maju terus. Karena hidup tak pernah berhenti, maju terus, itulah yang terjadi.
Pertanyaannya maju terus kemana?
Tentu saja pada keadaan lebih baik sesuai kebutuhan dan relevansi dengan keadaan yang terus berkembang.
Apa yang menjadi basis argumen untuk maju terus?
Tentu saja tentang visi hidup, plus tantangan zaman, peluang semakin berkembang. Dan, yang tak kalah substansial juga maju terus adalah alasan untuk tidak tergilas perkembangan yang terus terjadi.
Lalu bagaimana kalau gagal?
Sir Winston Churchill mengatakan, “Sukses adalah kemampuan untuk melangkah (maju terus) dari kegagalan tanpa kehilangan antusiasme.”
Dan, memang idealnya seperti itu. Coba perhatikan saat seseorang naik sepeda, berhenti mengayuh pedal, artinya siap-siap jatuh.
Transformasi
Maju terus dalam hal ini adalah perihal bagaimana terus bertransformasi, seiring perkembangan dan perubahan yang memang tak kenal kata final.
Baca Juga: Siapa Allah Itu?
Transformasi bisa untuk menjadikan organisasi tetap relevan. Bahkan transformasi juga bisa perihal bagaimana seseorang terus survive.
Secara teori, transformasi akan terjadi jika manusia memahami soal urgensi. Sederhananya bagaimana membawa organisasi atau diri dari kurang produktif menjadi lebih aktif, dari tidak kondusif menjadi kondusif.
Ustadz Asih Subagyo dalam paparannya saat menjadi narasumber dalam Hidayatullah Institute (12/7/24) mengatakan bahwa transformasi organisasi senantiasa perlu untuk merespon tantangan.
Seperti perkembangan teknologi yang sangat cepat, lingkungan global yang tak menentu, serta tuntutan untuk tetap relevan dengan lingkungan yang semakin beragam. Jadi, jangan ada status quo, kalau tidak (mengutip dua kata dari Ustadz Asih) “habis kita.”
Kasus Nokia, Blackberry cukup menjadi pelajaran. Bahwa kejayaan sekalipun kalau lambat merespon keadaan dan perubahan yang terjadi, pada akhirnya akan tumbang.
Terus Memperbaiki
Transformasi diri maupun organisasi relevan dengan nilai-nilai Islam yang mendorong untuk terus memperbaiki diri (islah) atau continuous improvement.
Baca Lagi: Bacalah dan Temukan Solusi
Islah mengajak kita melakukan refleksi diri, perbaikan dan perubahan terus menerus mencapai titik terbaik yang dianjurkan oleh Islam. Hal ini mensiratkan bahwa manusia dalam organisasi mesti senantiasa berupaya untuk “istiqomah.”
Guna menjawab kebutuhan itu, Ustadz Asih memberikan saran bahwa yang harus belajar bukan hanya orang, tetapi juga organisasi itu sendiri (learning organization).
Dengan fakta itu, maka kita tidak punya jalan lagi, selain berusaha menanamkan sikap mental: maju terus.
“Kemanga? ” kata Prof Sigit Iko, tidak lain adalah ke dalam kebaikan, kemajuan dan kemaslahatan. Karena yang akan bisa terus eksis adalah yang tak pernah kehilangan daya sebar energi positif dalam kehidupan.
Sebagaimana penjelasan Alquran, hendaklah kita menjadi orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan yang terbaik.
Jika ini jadi sikap mental kita, apakah masih sempat kita duduk berjam-jam hanya ngerumpi?*