Dalam situasi wabah seperti sekarang, hampir semua orang terdiam, karena memang itulah pilihan secara fisik yang paling baik untuk mencegah penyebaran Covid-19. Namun, manusia bukanlah semata makhluk fisik, tetapi juga jiwa dan pikiran.
Oleh karena itu kalau sempat lihat timeline di twitter, dalam situasi seperti ini muncul beragam berita dan dialog netizen yang begitu sengit perihal gagasan-gagasan yang dinilai tidak relevan dan karena itu berbenturan.
Survive hadapi wabah
Saya terinspirasi, kenapa tidak kaum muda tetap bergerak dalam ide dan bahkan syukur-syukur bisa mendorong terjadinya gerak fisik dan pikiran yang berpadu dengan pemanfaatan teknologi internet untuk kemajuan bersama.
Seketika saya pun menghubungi beberapa orang, bertanya perihal waktu dan kesiapan mereka untuk diskusi online. Tidak saja disambut baik, mereka malah mengusulkan penggunaan aplikasi yang nyaman dan lancar untuk kepentingan ini. Sekalipun setelah dijalani, lumayan juga, kuota dan baterai handphone langsung terkuras.
Dari pengalaman ini saya bayangkan bagaimana kalau mahasiswa harus kuliah online. Bisa saja mereka kian hemat dalam anggaran belanja, makanan dan kongkow, karena gak perlu wira-wiri ke kampus.
Tapi pasti membengkak untuk urusan kuota untuk kuliah atau diskusi online. Lumayan, bro, kuota terserap, seperti motor nanjak gunung dalam kondisi jalanan macet.
Belum lagi nyedot perasaan, pas mulai takeoff alias panas-panasnya kuliah, eh internet lemot. Ini dalem banget nyedotnya, ya kuota, ya perasaan.
Baca juga : Teruslah Bergerak
Andai saja DPR ngerti dan memang sayang sama rakyatnya, kalau pun gak bisa desak pemerintah kasih jaminan ke warga yang harus “lockdown” diri, setidaknya kuota internet memang dikasih gratis. Loh, jangan salah, amanah mencerdaskan kehidupan bangsa harus tetap jalan. Apapun situasinya.
Ruang Ujian
Wabah Covid-19 ini, setuju atau tidak adalah ruang ujian. Sekarang tinggal kita memilih dengan kemampuan yang dimiliki untuk survive. Jangan sampai keadaan membelenggu kita.
Bagi saya, langkah terpenting memang perkuat jalinan komunikasi dan silaturrahim online. Di sana sharing ilmu, wawasan, dan pengalaman dapat terus dilakukan, sehingga hati tetap terpaut. Bahkan boleh jadi akan ada lintasan ide yang applicable dan dibutuhkan dimasa sekarang dan nanti.
Tetapi, langkah ini bukan perkara mudah juga. Sahabat saya mengatakan, “Sebuah bangsa bisa dinilai dari diskusi anak mudanya. Karena itu membentuk karakter anak muda bangsa.”
Lah kalau dalam situasi wabah seperti ini diskusi dan pikiran mandeg, bagaimana mungkin kita bisa survive ke depan, sementara teknologi dialog atau silaturrahim online tinggal diklik dan tantangan pasca wabah sudah nyata di depan mata? Allahu a’lam.*
Imam Nawawi
Bogor, 13 Sya’ban 1441 H