Ketika kobaran api melalap harta benda, Sunardi mengajarkan kita tentang keikhlasan. Ketika berita diskriminasi mengusik nurani, Sunardi mengingatkan kita tentang tanggung jawab pemimpin.
Senyum di Tengah Puing-Puing
Indonesia baru saja dihebohkan oleh berita perihal anggota Paskibraka putri yang “dilarang” menggunakan hijab. Sebuah ironi di tengah perayaan kemerdekaan, mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan keadilan masih panjang.
Baca Juga: Kebingungan Datang, Begini Cara Mengatasinya!
Namun, di tengah hiruk-pikuk berita tersebut, ada kisah lain yang menyentuh hati, kisah tentang seorang warga biasa bernama Sunardi, penyintas kebakaran Manggarai yang berjiwa besar.
Saya bertemu Pak Sunardi di Posko Hangat BMH, SDN 05 Manggarai (14/8/24), beberapa hari setelah kebakaran hebat melanda pemukimannya.
Di tengah tenda pengungsian yang penuh sesak, wajah Pak Sunardi memancarkan ketenangan yang tak terduga. Senyumnya tulus, meski matanya menyimpan jejak kesedihan.
“Bagaimana perasaan Bapak?” tanya saya, hati-hati.
“Alhamdulillah baik,” jawabnya ringan, masih dengan senyum di bibirnya.
“Saya dibangunkan jam 03.00 malam, api sudah besar. Saya hanya bisa menyelamatkan motor saja,” lanjutnya, seolah menceritakan kejadian sehari-hari, bukan tragedi yang merenggut seluruh harta bendanya.
“Bagaimana Bapak melihat peristiwa ini?” tanya saya lagi, penasaran dengan kekuatan hatinya.
“Semua milik Allah, Mas. Semua yang pernah saya miliki sekarang Allah ambil. Ya, seperti itu, kita memang tidak punya apa-apa, selain yang Allah titipkan,” ungkapnya, senyumnya kini sedikit melebar, seolah menahan air mata yang hendak jatuh.
Pelajaran dari Sunardi
Keikhlasan Pak Sunardi sungguh luar biasa. Ia menerima musibah dengan lapang dada, meyakini bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Sikapnya ini mengajarkan kita tentang arti bersyukur dan berserah diri, bahkan di saat-saat terberat sekalipun.
Namun, kisah Pak Sunardi juga memunculkan pertanyaan lain: bagaimana jika sikap seperti ini ada dalam diri para pemimpin kita? Bagaimana jika mereka, seperti Pak Sunardi, melihat jabatan dan kekuasaan sebagai titipan, bukan hak milik pribadi?
Baca Lagi: Seni Menghadapi Masalah
Bayangkan jika para pemimpin kita memiliki kepekaan dan kepedulian seperti Pak Sunardi.
Para pemimpin itu pasti akan memprioritaskan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi atau golongan.
Mereka akan bekerja dengan tulus, bukan demi popularitas atau keuntungan semata. Mereka akan mendengarkan aspirasi rakyat, bukan menutup telinga dan memaksakan kehendak.
Zakat, Infak, Sedekah: Membangun Negeri yang Lebih Baik
Kisah Pak Sunardi juga mengingatkan kita tentang pentingnya solidaritas sosial. Bantuan dari BMH dan para donatur telah meringankan beban para korban kebakaran, termasuk Pak Sunardi. Zakat, infak, dan sedekah bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga wujud nyata kepedulian kita terhadap sesama.
Mari kita jadikan semangat keikhlasan Pak Sunardi dan semangat berbagi melalui zakat, infak, dan sedekah sebagai inspirasi untuk membangun negeri yang lebih baik. Negeri di mana setiap warga negara merasa dihargai dan dilindungi, negeri di mana pemimpin bekerja dengan tulus untuk kesejahteraan rakyat.*