Malam belum terlalu larut. Saya memiliki kesempatan untuk melihat film Turki yang berjudul Kurulus Osman. Osman adalah putra dari Ertugrul. Ia memiliki keberanian sebagaimana sang ayah. Namun perjalanan seorang pemberani bukan tanpa tantangan. Tantangan terbesar adalah ketika orang yang berada di sekelilingnya mulai gelisah. Pikirannya mengarah pada gugatan. Orientasi hidupnya berubah pada penghormatan. Lalu apa sumber kegelisahan itu?
Kisah pada episode 105 film itu mengingatkan saya pada uraian Ustadz Aqib Junaid beberapa hari lalu. Bahwa sumber kegelisahan adalah ketika manusia mulai jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak lama setelah Osman berhasil menaklukkan Marmarcik, salah satu orang kepercayaan Osman, Turgut Bey, masuk ke ruang utama kastil yang telah ditaklukan itu. Dalam ruangan itulah kemudian Turgut melihat bahwa dirinya punya kapasitas dan layak mendapat kepercayaan Osman untuk memimpin Marmaracik.
Ia pun berharap amanah memimpin bisa Osman berikan kepadanya. Akan tetapi betapa jengkelnya Turgut, ketika amanah menguasai Marmaracik itu justru Osman berikan kepada oktem Bey.
Turgut kemudian marah dan mengambil sikap membangkang. Ia memilih tidak hadir dalam ekspedisi berikutnya untuk menaklukkan tempat baru.
Baca Juga: Menjadi Bahagia
Turgut berpikir Osman tidak bisa menghargai pengorbanan dirinya selama ini. Ia pun menganggap bahwa Osman akan meninggalkan dirinya ke depan. Ia tidak lagi percaya kepada pemimpinnya. Walaupun sebenarnya Osman telah memberikan argumentasi mengapa Oktem Bey layak menjadi pemimpin di Marmarcik.
Tahta
Pada dasarnya Turgut adalah seorang pemimpin yang baik. Ia tidak pernah membangkang sebelumnya. Ia menjadi gelisah ketika melihat tahta. Terlebih kalau tahta itu ia pandang layak bagi dirinya. Pretensi pun muncul dan semakin kuat di dalam hati dan pikiran Turgut.
Jadi sumber kegelisahan adalah ketika hati manusia berubah. Dari yang seharusnya mengharap pertolongan Allah menjadi sangat yakin bahwa tahta bisa membuat hidup seseorang bahagia.
Manusia dalam hal ini seringkali gagal untuk bisa terus konsisten. Dan, penyebab inkonsistensi manusia di dalam mengemban misi dan visi kehidupan yang mulia adalah ketika ia memandang dunia bukan lagi sebagai ladang. Tetapi tempat paling aman untuk mengisi kehidupan sebelum mati.
Lihatlah bagaimana sejarah kerajaan-kerajaan masa lalu. Yang kala kehancuran tiba, penyebab utamanya adalah karena pertengkaran dan perebutan kekuasaan.
Kita juga bisa melihat politik hari ini, mereka yang menghendaki kekuasaan tanpa argumentasi dan bukti kekuatan yang diperlukan akan menggunakan beragam cara untuk jadi pemenang.
Bahkan dalam konteks kehidupan individu dan keluarga, ketidakbahagiaan itu muncul seketika kala orang mulai jauh dari mengingat Allah. Seorang istri akan kehilangan kebahagiaan ketika ia melihat suaminya hanya sebatas mesin ATM. Seorang suami pun akan sulit menjadi bahagia ketika melihat istri hanya sebagai pembantu. Dan, semua itu muncul karena kita lupa akan hakikat diri dan keluarga itu sendiri.
Solusi
Berdasarkan kisah sejarah kita bisa menemukan jalan kebahagiaan. Perjalanan para kekasih Allah itu tidak berlimpah harta dan kekuasaan. Tetapi hati dan pikiran mereka sepenuhnya mengarah pada satu kondisi penting yaitu totalitas yakin akan ajaran Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu kisah para nabi dan rasul itu bukan tentang bagaimana menghimpun uang dan membangun bangunan. Tetapi tentang bagaimana mencerahkan masyarakat. Terutama memberikan peringatan kepada para penguasa agar tidak mengundang kemarahan Tuhan.
Orang yang melihat bahwa dirinya berkuasa langsung menolak pencerahan yang nabi dan rasul sampaikan. Yang melihat manusia yang tidak berkuasa hanya sebagai sosok yang tidak penting dan kalau dilayani hanya membuang-buang waktu. Para penguasa itu pun menentang bahkan ingin membunuh kekasih kekasih Allah itu.
Namun kita semua memahami melalui Alquran, siapapun yang ingin kebahagiaan kemudian menentang Allah dan Rasul, kehinaan adalah hasilnya.
Baca Lagi: Mengisi Hari dengan Kebahagiaan
Jadi kalau ada perkara penting yang harus kita perhatikan adalah memastikan hati dan pikiran selalu yakin bahwa Allah tempat kita bersandar dan memohon pertolongan. Bukan uang bukan pula kekuasaan. Tetapi kalau uang dan kekuasaan itu Allah berikan maka jadikan sebagai jalan penyelamatan umat manusia.*