Kata “memimpin” biasa identik dengan jabatan. Padahal, sejatinya, memimpin itu bermula dari diri sendiri. Rasulullah SAW sendiri menerangkan bahwa setiap jiwa adalah pemimpin. Karena itu siapa sukses memimpin diri sendiri (insha Allah) akan sukses menggerakkan semua.
Kalau kita merujuk pada kriteria manusia terbaik dalam pandangan Islam, yakni orang yang paling bermanfaat bagi banyak orang, maka memimpin diri sendiri bisa kita pahami bagaimana menjadi pribadi yang banyak menguatkan kebaikan. Menjadikan orang lemah, bangkit dan bersemangat. Bukan malah menjadi beban bagi orang lain, walau sekadar ucapan.
Oleh karena itu sangat luar biasa ketika Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah mengutusnya adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak.
Baca Juga: Jadi Pemimpin itu Butuh Kesiapan
Jadi, memimpin diri sendiri, memastikan setiap pikiran, ucapan dan perbuatan kita tidak menjadikan orang lain mendapatkan kerugian.
Ketika seseorang hanya dengan ucapannya sudah tidak menghidupkan hati, semangat dan gairah orang berbuat kebaikan, maka sungguh, diri ini benar-benar telah menjadi benalu kebaikan bagi banyak orang.
Besarkan Jangan Kecilkan
Tugas memimpin diri semakin harus serius ketika secara langsung diri mendapat amanah memegang urusan banyak orang.
Terhadap bawahan atau orang yang menjadi tanggung jawabnya hendaknya tidak bergaya bos. Bos kita asumsikan sebagai orang yang bisanya memerintah, kalau untung dia yang hebat. Kalau rugi, bawahan yang terus mendapat celaan.
Seorang pemimpin yang memiliki jabatan harus mampu meraba, bagaimana kondisi akal, hati dan perasaan mereka yang jadi anak buah.
Jangan sampai karena merasa strukturnya tinggi, lalu bisanya hanya membenci yang seharusnya paling bahagia di bawah kepemimpinannya. Lalu tidak adil, kepada yang di bawah begitu kritis ke atas jadi begitu “humanis.”
Dan, seperti pandangan Hemhill & Coons kepemimpinan adalah tentang perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal).
Dalam kata yang lain, seorang pemimpin harus mampu membesarkan hati orang yang ada dalam kepemimpinannya. Jadikan mereka punya semangat dan bergairah dalam kebaikan.
Bukan malah sebaliknya, sebatas pertanyaan pun, sudah mengundang kesan seakan-akan sang anak buah akan selalu melakukan kesalahan dan kerugian. Padahal, boleh jadi secara konkret, justru tanpa bawahan, posisi pemimpin itu tidak ada arti sama sekali.
Jadilah Penggerak
Pemimpin itu tidak perlu menunjukkan dirinya punya kuasa. Cukup ia berusaha menjadi seorang penggerak.
Penggerak, berarti menjadikan diri dan orang-orang sekelilingnya antusias bergerak melakukan lompatan-lompatan kerja dan pencapaian hasil yang melampaui target.
Baca Lagi: Cara Berpikir Minimal Seorang Pemimpin
Hal itu akan terwujud ketika pikiran seorang pemimpin tidak seperti sebuah gelas yang hanya menampung sedikit air.
Butuh hati dan jiwa yang seluas samudera, sehingga selain air yang melimpah bisa ditampung, segala kebaikan siap untuk ada dalam dirinya dan diberikan kepada siapapun yang memerlukan.
Simon Sinek dalam buku “Leaders Eat Last” menulis pesan menarik, bahwa pemimpin sejati akan mampu menghimpun kekuatan dari orang-orang yang jadi bawahannya untuk hadirnya sinergi dan kolaborasi yang menjadikan perusahaan tumbuh lebih kuat, lebih hebat. Itulah yang akan pemimpin penggerak hasilkan.
Sekali lagi pemimpin penggerak, bukan pemimpin perusak.*