Jika seseorang masih menganggap pemimpin hanya sebatas jabatan atau posisi formal, berarti ia benar-benar telah tertinggal jauh dalam memahami esensi kepemimpinan di era modern. Pemahaman sempit semacam itu mengabaikan dinamika dan kompleksitas kepemimpinan yang sesungguhnya—bahwa pemimpin sejati hadir dalam berbagai bentuk, memengaruhi tanpa harus menduduki kursi kekuasaan, dan perannya jauh melampaui struktur hierarkis belaka. Inilah alasan mengapa kita harus sukses memimpin diri sendiri plus strateginya.
Baru-baru ini melalui konten reels IG beredar ungkapan yang menjelaskan tentang dua konsep pemimpin. Yakni “formal leader” dan “personal leader.”
Formal leader adalah orang yang memimpin karena jabatan. Dalam buku 5 tingkatan kepemimpinan karya Maxwell, itu baru pemimpin level 1. Ia menjabat maka ia bisa memimpin.
Sedangkan personal leader adalah orang yang walau tanpa jabatan, pengaruhnya jelas. Orang lain merasa terinspirasi bahkan tergerak dengan sosoknya.
Formal leader itulah yang mungkin dimaksud oleh Anies Baswedan dahulu, bahwa pemimpin yang sejati adalah yang kita percaya dan mau mengikuti.
Terkadang saya bercanda dengan teman-teman. Pemimpinmu siapa? Mereka jawab A. Lalu saya katakan, apakah kalian mau ikut A? Jawabannya tidak. Maka itu bukan personal leader. Ia tidak pantas untuk jadi anutan apalagi teladan.
Sadar dan Melakukan yang Benar
Lantas bagaimana supaya kita bisa memimpin diri sendiri?
Pertama, kita harus punya kesadaran.
Kedua, kita perlu memiliki komitmen.
Dua hal itu sadar dan komitmen akan mendorong diri kita secara senang dan tenang mau melakukan hal-hal yang benar.
Sebagai contoh, kalau kita sudah salat Subuh, kadang ngantuk menyerang. Tapi karena kita sadar dan komitmen mengisi waktu ba’da Subuh dengan kebaikan, maka ngantuk itu segera hilang.
Bukan karena kita buang kantuk itu. Tapi karena kesadaran itu seperti matahari terbit, yang langsung menyibak kegelapan.
Dalam konteks negara. Pemimpin yang sadar dan punya komitmen pada kebenaran, tidak mungkin akan membiarkan ada putusan lahir dan itu merugikan rakyat.
Hal itu karena sang pemimpin bukan lagi tajam kesadaran dan komitmennya. Instingnya pun telah benar-benar kuat untuk mengendus segala bentuk permianan melalui regulasi yang merusak negeri.
Memberi dengan Berpikir
Pemimpin itu punya tradisi yang baik, yakni gemar memberi. Tidak semata uang, tapi juga buah pemikiran.
Sebagaimana kita tahu, pemimpin perlu dan ingin ada ide-ide inovatif, wawasan strategis, dan mampu arahan yang membangun.
Tradisi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah tentang menciptakan nilai dan berbagi pengetahuan untuk kemajuan bersama, bukan hanya tentang mengakumulasi atau mengelola sumber daya.
Mereka memahami bahwa kekuatan kepemimpinan terletak pada kemampuan untuk menginspirasi, membimbing, dan memberdayakan melalui kontribusi intelektual dan etika. Itulah mengapa Rasulullah SAW adalah pemimpin yang selalu Iqra Bismirabbik.
Carol S. Dweck pernah berkata. “Jika Anda tidak memberi apa pun, jangan mengharapkan apa pun. Sukses tidak datang kepada Anda, Anda harus datang ke sana.”
Ungkapan itu menghendaki kita sadar. Bahwa keberhasilan, baik bagi individu maupun organisasi, adalah hasil dari inisiatif dan kontribusi aktif.
Seorang pemimpin tidak bisa hanya menunggu hasil atau mengharapkan kesuksesan datang begitu saja; mereka harus proaktif dalam memberikan upaya, ide, dan bimbingan untuk membangun fondasi kesuksesan.
Ini berarti kepemimpinan yang efektif adalah sebuah tindakan berkelanjutan dari memberi nilai dan berinvestasi dalam potensi orang lain, yang pada akhirnya akan mengarah pada pencapaian tujuan bersama.
Lalu bagaimana caranya kita bisa menjadi pemimpin seperti itu? Kata Kang Maman, yuk banyak read, Iqra dan baca.*