Home Artikel Sukailah yang Membuat Hati Tenang
Hati Tenang

Sukailah yang Membuat Hati Tenang

by Imam Nawawi

Jono senang sekali mudik dengan membawa iPhone. Foto dan video selama di kampung halaman begitu memuaskan hatinya. Hingga tiba masa kembali ke Jakarta, ia baru sadar akan masa sewa iPhone itu. Ya, Jono jadi sebagian orang yang mudik dengan memilih sewa iPhone. Mahasiswa itu memang sedang punya THR lumayan. Harga sewa iPhone 15 Pro itu Rp. 300 ribu per 24 jam. Total 10 hari, 3 juta uang Jono harus ludes untuk apa yang ia sukai itu. Jono menyesal? Penyuka gadget itu puas dengan hasil foto dan video. Tapi begitu ingat tiba waktu harus membeli kebutuhan kuliah yang nilainya nyaris sejumlah sewa iPhone. Wajahnya berubah bingung. Ia jadi teringat nasihat kakaknya ketika di kampung halaman. “Sukailah yang membuat hati tenang.”

Fenomena sewa iPhone itu mendapat sorotan dari media online. Termasuk dari sebagian kecil youtuber. Secara prinsip setiap orang bebas memilih. Namun, sebagai pelajaran, idealnya orang memilih yang dampaknya bisa menenangkan hati. Bukan semata menyenangkan. Karena sifat senang sangat temporer. Sedangkan tenang itu kondisi hati yang menemukan makna dari segala hal.

Tingkatkan Ketenangan Hati Bukan Gengsi

Menurut pakar Sosiologi, keputusan seseorang menyewa iPhone menunjukkan bahwa iPhone punya gengsi. Memeganngya, walau dengan cara sewa, meningkatkan gengsi seseorang. Naik kelas bahasa sederhananya.

Targetnya jelas, ingin memberi bukti bahwa dirinya berhasil. Kemudian harapannya orang mengakui eksistensi orang itu. Apalagi kalau foto dan video yang dihasilkan telah terupload ke berbagai platform media sosial. Hatinya akan sangat senang. Oleh karena itu relevan saja kalau pendorong orang menyewa iPhone adalah gengsi.

Kalaupun memilih sewa itu tidak membuat kantong bolong, setidaknya kalau kita ajukan pertanyaan mendasar: “mengapa seseorang melakukan itu” hati pasti akan segera “gelisah”. Karena tak semua yang manusia inginkan benar-benar keluar dari hati yang jernih.

Tiga Tinjauan

Saya tertarik menulis soal ini karena tiga tinjauan yang saya ajukan.

Pertama, dalam tinjauan psikologi, aktivitas itu termasuk dalam teori ilusi identitas dan kebutuhan palsu.

Dalam psikologi, perilaku mengikuti gengsi sering dikaitkan dengan konsep self-image dan external validation. Itu adalah konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk merasa berharga karena penilaian orang lain.

Ketika seseorang menyewa iPhone hanya demi terlihat keren, ia sebenarnya sedang membangun identitas semu yang rapuh. Ini menciptakan cognitive dissonance, yaitu ketegangan psikologis karena perbedaan antara realita (kemampuan finansial) dan persepsi yang ingin ditampilkan.

Dalam jangka panjang, ini dapat memicu stres, kecemasan sosial, bahkan depresi karena individu terus-menerus merasa tidak cukup baik jika tidak tampil “sempurna” di mata orang lain.

Tinjauan Ekonomi dan Filsafat

Kedua, dalam tinjauan ekonomi. Perilaku itu menunjukkan yang namanya konsumsi tidak rasional dan jeratan finansial.

Dari sisi ekonomi, keputusan menyewa barang mahal untuk alasan status menunjukkan perilaku konsumtif yang tidak rasional. Logikanya simpel. Pengeluaran yang orang lakukan bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan dorongan sosial. Dalam ilmu ekonomi perilaku (behavioral economics), ini masuk kategori conspicuous consumption—pengeluaran demi pamer status.

Akibatnya, alokasi dana menjadi tidak efisien, tabungan minim, dan risiko utang meningkat. Gaya hidup ini bisa memicu efek domino keuangan, seperti tidak memiliki dana darurat atau gagal mencapai tujuan jangka panjang hanya karena terlalu fokus tampil wah secara sesaat.

Ketiga, dalam tinjauan filsafat. Orang itu mengalami kehampaan nilai dan eksistensi yang dangkal.

Dalam filsafat, terutama pemikiran eksistensialis, tindakan mengikuti gengsi tanpa refleksi diri menunjukkan bahwa individu kehilangan otonomi eksistensialnya.

Ia lebih sibuk menjalani kehidupan orang lain—atau bayangannya tentang “kehidupan ideal”—daripada menjadi dirinya sendiri.

Jean Paul Sartre menyebut ini sebagai “bad faith”, saat seseorang menipu dirinya sendiri demi menghindari tanggung jawab atas kebebasannya memilih. Hidup menjadi sekadar tampilan, bukan makna. Maka, mengikuti gengsi pada akhirnya menjauhkan manusia dari keaslian dan kedalaman hidup yang sejati. Inilah akibatnya, hati mungkin senang. Tapi ujungnya tidak pernah tenang.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment