“Sudah, mulai sekarang, saya tidak mau melihat dia. Jauhkan dia dari sini,” ucap Tarno sekali lalu menggebrak meja.
Pria bernama Sutarno itu baru saja meluapkan kemarahannya.
Ia marah pada seorang guru yang menurutnya tidak menghormatinya sebagai seorang kepala sekolah.
Rapat dewan guru itu pun hening. Sebagian guru juga bingung, apa sebenarnya yang terjadi.
Seorang guru bernama Tuti mendekatkan wajah kepada guru matematika bernama Edi.
“Apa, pak, ada apa, ya, pak?”
Baca Juga: Mengenal Inti Dunia
Pak Edi, biasa muridnya menyapa, hanya menggelengkan kepala. Lalu berucap, “Tak ada yang tahu.”
Pikiran Pak Gufron
Waktu berjalan, masa berganti, Sutardi akhirnya tiba masa pensiun.
Naik sebagai penggantinya sebagai kepala sekolah, Abdul Ghufron. Murid-murid sekolah biasa memanggil, Pak Gufron.
Sebagai guru muda, Tuti yang selama ini sering berinteraksi dengan Pak Edi mengucapkan selamat.
“Selamat, Pak Gufron, kini jadi kepala sekolah.
Pak Gufron menjawab normal, “Terimakasih, Bu Tuti.”
“Oya, Pak, kalau ada sesuatu jangan pernah tidak terbuka, kami takut kalau tiba-tiba nanti bapak marah, kami tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya,” Tuti melanjutkan ucapannya.
“Kamu masih ingat insiden itu. Biarlah itu jadi kenangan Pak Sutarno, kita tak perlu membahasnya,” sahutnya.
Tuti tidak puas. Ia langsung duduk di kursi panjang dekat ruang kepala sekolah.
“Gak bisa begitu, Pak. Peristiwa itu memang sudah lama, tapi kami semua tidak bisa lupa. Karena tidak jelas apa masalahnya.”
Pak Gufron yang tadinya mau masuk ke ruangan kepala sekolah itu pun mengubah langkah kakinya. Ia berdiri dengan bersandar pada kusen pintu berwarna putih.
Mendudukkan Masalah
“Bu Tuti, namanya masalah itu selalu ada. Kalau Ibu masih ingin menelusuri apa yang sebenarnya terjadi atas kejadian itu, sebenarnya Ibu terjebak masalah. Bukan menuntaskan masalah,” Pak Gufron mulai memberi tanggapan serius.
“Katakanlah Pak Sutarno berterus terang, kemudian Ibu tahu saya yang mengerti masalah itu, lalu saya beber semua di sini, apakah Ibu akan berhenti dari merasa penasaran,” sambungnya, lebih serius.
“Ada ungkapan, if you have no problem, you are the problem. Jadi, sebagai guru, sebaiknya kita mulai mengarahkan arah penasaran kita pada masalah-masalah yang bagus bagi tanggung jawab kita sebagai guru. Kita tidak boleh suka mengubek-ubek masalah. Apalagi masalah itu pertengkaran.”
Bu Tuti terdiam, ia mematung, aura wajahnya menunjukkan ia sadar keliru memaknai peristiwa itu.
“Iya, ya, Pak. Kok saya jadi menyimpan dan bertanya tentang sosok orang yang suka bertengkar, ya,” lafalnya.
“Pak Sutarno bukan orang yang suka bertengkar. Tetapi ia orang yang mudah tersulut emosinya, ia bertindak tanpa memahami duduk perkara dengan baik. Tapi itu pelajaran baik bagi kita semua,” tutur Pak Gufron sembari melangkah ke dalam ruangan kepala sekolah.
Terurai
Bu Tuti pun beranjak dari posisi duduknya. Lalu menuju ruang guru.
Ketika duduk di mejanya, Bu Tuti mengambil pena dan buku catatan.
Baca Lagi: Apa Bentuk Jihad Kita?
Sembari melirik jam dinding berwarna pink, tangannya menulis. “Bertengkar itu akan dilakukan oleh orang yang emosinya lebih cepat dari kesadaran berpikirnya.”
Begitu dirasa mantap, Bu Tuti mengetik di smartphone nya, lalu menjadikannya sebagai status Instagram.
Dalam tempo 10 menit muncul komentar dari akun yang mengikuti Bu Tuti.
“Terimakasih Bu Tuti, saya sekarang sadar, bahwa bertengkar itu membuat hidup susah. Lebih baik sadar, bersaudara dan memaafkan.”
Komentar itu datang dari rekan guru Bu Tuti yang sudah lima tahun pindah tugas ke sekolah di daerah lain.
Melihat itu Bu Tuti berkata, “Alhamdulillah.”
Bu Tuti tidak sadar, bahwa yang komentar itulah yang tahu duduk masalah sebenarnya.
Tapi, arahan Pak Ghufron dalam dialog singkat itu, membuat Bu Tuti, sosok guru yang supel dan suka membantu orang lain itu tak lagi tertarik menelusuri masalah yang kalau dikejar, malah semakin masalah.*