Sinar yang hilang, mungkin hanya terbayang kala PLN mengalami pemadaman. Tetapi dalam kondisi itu jelas, semua kegelapan dan kebingungan. Lantas bagaimana kalau sinar yang hilang itu ada dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegera?
Indonesia kembali menampakkan tontonan politik yang menggelitik. Terlebih setelah ramai berita dilantiknya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Fakta ini jelas mengundang respon publik, mengingat dahulu Sandi adalah pihak yang berseberangan kubu dengan Jokowi di Pilpres 2019. Namun, setelah Prabowo yang lebih dahulu masuk, kini pria yang dikenal dekat dengan emak-emak itu pun menyusul ke dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Kalau dilihat sebagai fakta biasa, tanpa mengingat masa dimana mereka dahulu berkompetisi menjadi presiden dan wakil presiden, tentulah apa yang mendasari Sandiaga masuk dalam kabinet benar-benar ungkapan yang baik.
“COVID-19 ini adalah game changer, COVID-19 ini mengubah segalanya, terutama ketika 2 minggu terakhir saya bertafakur, tadabur, berkontemplasi, refleksi, bahwa kita semua akhirnya harus bersatu padu,” ujar Sandiaga kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (23/12/2020).
Artinya, Sandiaga melihat situasi bangsa dan negara menghendaki kesamaan langkah dalam merespon situasi dan kondisi yang tidak baik yang sedang terjadi di dalam negeri ini. Sebagai politisi, jelas langkah masuk ke kabinet adalah lebih efektif, daripada harus berteriak-teriak sebagai oposan.
Semangat Sandi seperti ia tegaskan sendiri, “Memberi kontribusi terbaik, memberi sumbangsih pada bangsa dan negara, singkirkan kepentingan-kepentingan pribadi, politik, atau golongan,” kata Sandiaga.
“Semua kita lakukan demi kepentingan bangsa dan negara. Dan jika negara memanggil pada saat inilah menurut saya tanggung jawab ada di pundak masing-masing dari kita,” ujar Sandiaga.
Tetapi, bagaimana dengan “pengorbanan” emak-emak dan relawan saat mendambakan Sandi menjadi seorang wakil presiden dari Prabowo Subianto?
Apakah pantas kita mengatakan Sandiaga telah “menjual” idealisme-nya bersama Prabowo?
Apa bukti bahwa keduanya telah tersandera oleh kepentingan-kepentingan pragmatis?
Siapa yang berhak dan valid dalam memberikan penilaian terhadap semua ini?
Namun satu hal yang pasti dan menurut saya penting dinanti adalah apakah benar nantinya dalam masa Praboo dan Sandi menjadi menteri kebaikan benar-benar hadir dalam kehidupan rakyat?
Ini yang sebenarnya menarik dinanti. Sebab, dalam satu sisi kita bisa memandang, Jokowi memang sedang membutuhkan tenaga yang andal dan bisa dipercaya untuk menyelamatkan kekuasaannya dari penyalahgunaan kewenangan dan disorientasi pembangunan.
Akan tetapi inilah politik Indonesia hingga saat ini, tidak ada area yang benar-benar terang. Juga tidak ada area yang benar-benar gelap. Kata seorang poitisi lokal di sebuah wilayah Indonesia, “Tidak semua hal itu perlu dibunyikan dalam politik.”
Hal itu menandakan bahwa dalam melihat politik rakyat harus cerdas, jangan termakan oleh kata-kata yang dilontarkan, apalagi sekedar popularitas dan karena didukung partai-partai besar. Bangsa ini akan berubah kalau rakyat negeri ini kian hari cerdas melihat politik. Bukan lagi sekedar kasak-kusuk, riuh rendah suara sumbang, tapi benar-benar yang memberi energi perubahan.
Dan, terakhir saya ingin hadirkan ungkapan Sir Walter Scott yang dikutip Buya Hamka dalam bukunya Pribadi Hebat.
Bahwa kita perlu memiliki yang namanya timbang rasa. “Timbang rasa laksana rantai perak atau benang sutra yang menghubungkan hati dengan hati, akal dengan akal dan tubuh dengan jiwa.”
Hal itu perlu sekali dimiliki, baik bagi rakyat maupun penguasa. Dimana sekarang lebih diwajibkan dimiliki oleh para penguasa, dari presiden sampai menteri, timbanglah benar-benar dengan rasa, apakah ucapan dan kebijakannya itu benar, baik, bermanfaat dan dibutuhkan oleh rakyat.
Langkah ini perlu agar negeri-negeri ini tidak benar-benar kehilangan sinar yang amat dibutuhkan.
Rakyat pun demikian, harus memiliki timbang rasa. Apakah komentar, diskusi dan narasi yang dibangun dalam memberi komentar terhadap penguasa berdampak kebaikan, menambah kecerdasan dan kebijaksanaan.
Jika tidak, maka sebaiknya berhenti, karena rakyat dari bangsa lain terus berpacu dengan waktu untuk mewujudkan hidup yang lebih baik. Langkah ini penting sekali agar kita tidak terbahak-bahak dalam kegelapan. Allahu a’lam.*
Mas Imam Nawawi
Semarang, 9 Jumadil Awwal 1442 H