Sejauh ini sebagian kita memiliki anggapan intelektual itu adalah orang yang punya gelar akademik. Lengkap kalau sampai guru besar (profesor). Tapi benarkah seperti itu? Apakah kita tidak perlu memeriksa ulang siapa intelektual itu sebenarnya?
Rasanya memang kita perlu mengecek lagi, terlebih kalau kata intelektual itu disandingkan dengan kata “publik” sehingga menjadi intelektual publik.
Seperti yang Ignatius Haryanto tulis di opini Kompas dengan judul “Masa Depan Intelektual Publik” ia menegaskan bahwa intelektual publik adalah sosok yang tidak saja pintar.
Menurutnya, sosok intelektual publik memiliki keprihatinan, kepekaan, atas peristiwa yang mengitari kehidupan kita semua, sebagai masyarakat, bangsa dan negara.
“Ia harus memiliki kepedulian dan konsistensi terhadap permasalahan di sekitarnya. Ia harus mampu mengartikulasi serta merefleksikan persoalan itu dengan pisau analisis ilmu yang ia kuasai dan menyampaikannya kepada orang banyak via media massa atau media sosial,” Ignatius menegaskan.
Mereka turun ke gelanggang dengan memberikan respon bahkan protes dengan analisis yang tajam dan mendiskusikan itu di ruang-ruang publik: seperti media, seminar atau diskusi melalui saluran media sosial.
Baca Juga: Menjawab Tantangan Pemikiran
Sosok intelektual publik memang akan publik dengar karena mereka menjadikan intelektualnya bekerja untuk kepentingan publik, bukan sebagai mesin pendulang keuntungan pribadi.
Berusahalah
Sekalipun seorang intelektual itu tidak harus bersanding dengan kata publik, idealnya sosok intelektual memang hadir dalam masalah-masalah publik. Ia tidak boleh hanya sibuk membuat laporan dan kegiatan internal kampus dengan target-target kepangkatan dan lain sebagainya.
Kita perlu belajar pada intelektual seperti Hos Cokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Hasbi Ash-Shiddiqi, dan lain sebagainya.
Mereka orang yang pintar, cerdas, sebagian tanpa pernah belajar formal, seperti Buya Hamka dan Agus Salim, tapi kontribusinya intelektualitasnya kepada bangsa begitu signifikan.
Dalam kajian Islam, intelektual Muslim tidak lain adalah sosok cendekiawan yang menggunakan akal pikiran dan hatinya untuk memahami segala sesuatu dalam alam semesta ini, tentu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dunia.
Pertanyaannya apakah kita bisa menjadi intelektual? Sangat bisa! Oleh karena itu berusahalah tekun membaca, senang berdiskusi dan terus hadir dalam problem keumatan dan kebangsaan.
Syarat
Agar kita bisa menjadi sosok yang bermanfaat bagi manusia yang lain, menjadi intelektual merupakan satu jalan baik.
Baca Lagi: Pemuda itu Tentang Mental dan Karakter
Namun syaratnya dari sekarang sudah harus meningkatkan kecerdasan, terutama dalam menyikapi berbagai informasi yang masuk ke dalam otak dan hati kita sendiri.
Serap informasi dari berbagai sumber, lalu pilah, pilh, dan olah. Proses mengolah inilah pekerjaan dasar seorang intelektual.
Kemudian, apa hasil olahannya? Tidak lain adalah petunjuk. Bisa mengambil manfaat tentang bagaimana berpikir, bersikap dan bertindak atas segala peristiwa yang telah dan tengah terjadi.
Selanjutnya, setelah ia mendapat petunjuk, maka segera membangun antusiasme untuk mendiskusikannya kepada seluas-luas manusia. Selain berbicara, menulislah!
Puncaknya intelektual Muslim itu mampu membedakan dengan terang, mana hak dan mana bathil. Dengan begitu kehadiran dirinya menjadi suluh bagi umat dan bangsa.
Anak-anak muda harus paham soal ini dengan baik, agar hidupnya mampu menjadi insan bermanfaat bagi sesama. Dan, bagaimana kaum muda mau meninggalkan jalan ini, sedangkan Rasulullah SAW menegaskan bahwa manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi seluas-luas manusia?*