Ketika Alquran pertama kali turun dan isinya adalah perintah Iqra’ bismirabbik, orang-orang Arab Quraisy yang jahiliyah tidak melihat ayat itu penting. Tetapi tidak bagi insan yang hatinya menerima ayat itu dengan kebeningan hati, bagi mereka perintah membaca itu adalah cara terbaik menguasai.
Pertanyaannya apa yang dikuasai? Tidak lain adalah perihal diri dan Tuhan serta kehidupan ini.
Menalarnya pun tidak sulit, bayangkan kalau seorang Bilal mendengar ayat itu kemudian meyakini bahwa ayat ini luar biasa.
Pertama, Bilal melihat bahwa dengan adanya perintah Iqra’ Bismirabbik seseorang diajak untuk melihat substansi hidup dengan mengambil jarak yang begitu jauh bahkan berhadapan dengan cara berpikir dan budaya masyarakat kala itu.
Kedua, Bilal memahami bahwa kata “min ‘alaq” yang artinya “dari segumpal darah” menjadikan penalarannya sampai pada kesimpulan penting bahwa manusia, satu sama lain hakikatnya sama, yakni dari segumpal darah, yang itu berarti tidak pantas dirinya dijadikan budak dan diperbudak.
Baca Juga: Desain Politik 2024
Ketiga, Bilal memiliki sikap independen dengan kepercayaan baru dan utuh tentang kebenaran, sehingga ia siap menghadapi segala macam resiko, termasuk jiwanya demi mempertahankan keyakinan baru yang mencerahkan itu, yakni Islam.
Pada akhirnya kita ketahui dalam sejarah, Bilal menjadi sosok besar dan inspiratif, bukan karena jabatannya, tapi karena kekuatan Bilal di dalam membaca dengan benar.
Kasus Kediri
Sekarang mari kita tarik dalam sejarah modern, dimana ketika Belanda ke Indonesia mereka mampu menguasai (baca menjajah) bangsa Indonesia.
Seorang profesor dalam satu kesempatan di dalam wisuda STIE Hidayatullah Depok pernah mengatakan, bahwa Belanda menjajah Indonesia itu karena dua hal.
Pertama, Belanda banyak membaca. Kedua, bangsa Indonesia belum banyak membaca atau membaca tidak lebih baik di banding Belanda. Itulah mengapa akhirnya kita dijajah selama 350 tahun.
Sekarang mari lihat satu kasus, yakni Johan Donker, komisaris Belanda di Kediri pada 1832. Suatu waktu ia meminta informasi tentang sejarah Kediri kepada Mas Ngabehi Purbawijaya.
Mas Ngabehi Purbawijaya selaku orang Jawa tidak pernah mengira bahwa ini merupakan bagian dari proyek rekayasa “masa depan” budaya Jawa.
Susiyanto di dalam hidayatullah.com menguraikan, “Layaknya seorang hamba yang mengabdi, Purbawijaya yang saat itu menjadi beskal (pelafalan dari kata fiscaal = pejabat setingkat jaksa) di Kediri, hanya menuruti saja kehendak sang “tuan”.
Meski hasilnya bukan karya bernilai historis seperti dikehendaki Donker, nyatanya karya “mistis-mitologis” serupa pada masa selanjutnya tetap dianggap berguna.”
Jadi, untuk menguasai orang Jawa, Belanda membaca tentang bagaimana sejarah orang Jawa. Untuk upaya itu Belanda menurunkan para akademisinya menjalankan tugas penelitian terhadap adat-istiadat dan tradisi orang Jawa.
Semakin hari mereka sadar bahwa membaca Jawa sangatlah urgen dan strategis. Oleh karena itu, pendidikan bagi para pegawai dan pejabat Belanda hendaknya diarahkan untuk memahami bahasa dan budaya rakyat setempat.
Sampai akhirnya proses penyebaran Injil pun dilakukan dengan cara menerjemahkan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Seorang Gericke pun rela belajar tentang literatur Jawa sampai 9 bulan lamanya.
Susiyanto pun menegaskan, “Lembaga Bahasa Jawa didirikan dengan berbagai tujuan yang hendak diraih. Bagi Pemerintah negara jajahan, keberadaan lembaga yang mampu menyediakan tenaga terdidik untuk berdialog dengan pribumi dinilai menguntungkan dalam upaya menjaga stabilitas dan memelihara hegemoni.
Sementara itu bagi kalangan zending belanda, Instituut voor de Javaansche Taal akan menjadi ujung tombak bagi penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Dengan demikian kepentingan kolonialis dan misionaris terpadu menjiwai semangat pendirian lembaga ini.”
Kerugian Tidak Membaca
Pertanyaannya sekarang, apa yang kita baca sebagai generasi muda bangsa sekaligus generasi muda Muslim?
Taufiq Ismail pernah mengatakan bahwa orang Indonesia ini “luar biasa sedikit” yang membaca buku. Tetapi orang yang merokok sangatlah luar biasa, akhirnya di Indonesia yang maju adalah industri rokok daripada industri buku, karena memang orang Indonesia lebih suka membeli rokok daripada buku.
Belakangan Prof. DR. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam sebuah video yang viral di media sosial mengatakan bahwa tragedi generasi milenial adalah minat bacanya yang rendah.
Orientasi perut lebih besar dibanding orientasi pada otak. Hal itu dibuktikan dari mudahnya mengeluarkan uang Rp. 200 ribu untuk nongkrong di cafe dibanding Rp. 100 ribu untuk membeli buku. Rp. 100 ribu untuk buku, itu terasa mahal sekali.
Ketika ini terus terjadi, maka kerugian akan sulit dijauhkan dari bangsa ini. Karena itu wajar jika bangsa dan umat di Indonesia mudah mengalami masalah, baik dalam memahami, menguasai, maupun meneruskan ilmu dengan baik dan benar, termasuk dalam hal penggunaan teknologi.
Baca Lagi: Dari Kagum Menjadi Cinta
Disaat yang lain, umat ini dengan posisi yang mayoritas akan terus kehilangan kekuatan karena mudah sekali dirayu oleh pragmatisme. Di sisi lain kreativitas akan terganggu, sehingga peluang menjadi bangsa pemain semakin kecil kemungkinannya, karena nyaman jadi konsumen, jadi penonton.
Dengan demikian, mari sudahi semua ini dengan bersegera membaca. Dan, membaca dalam makna Iqra’ Bismirabbik bukan sekedar mendaras teks dalam barisan kalimat dan paragraf dalam buku atau kitab, tetapi apa pun yang mendorong kita menjadi lebih baik, bahkan mampu menguasai diri sendiri dengan benar.*