Saat kita hidup dalam kemajuan teknologi transportasi, jarak yang dahulu tak terjangkau kini mudah kita jamah. Sekalipun kadang kita berada dalam rentang satu titik ke titik lain masih ada yang nyaris 10 jam panjang perjalanannya. Itulah kenapa saya ingin menulis tentang siang kemarin dan siang hari ini.
Kalau kita coba membayangkan masa lalu, tak ada orang yang bisa siang kemarin berada di satu tempat, siang ini di tempat lainnya dengan jarak hingga ratusan kilometer.
Kita pasti tahu dalam pikiran bahwa orang dahulu, sebelum kenal transportasi melakukan perjalanan dengan berjalan kaki, jarak jauh apalagi dekat. Baru kemudian kenal kuda, lalu melaju kencang sejauh lompatan kaki kuda.
Baru kemudian orang mengenal roda. Sejarah mengatakan roda itu telah ditemukan sekitar 3500 SM. Namun ada yang mengatakan roda telah ada 300 SM di Mesopotamia.
Artinya sejarah transportasi memakan waktu panjang. Dan, kita kini mendapat nikmat alat transportasi paling cepat dari masa-masa sebelum ini.
Sepeda, ya, transportasi paling sederhana saat ini lahir pada tahun 1817 M oleh seorang bangsawan Jerman, Karl Drais. Mobil manusia temukan tahun 1886 oleh Karl Benz.
Baca Juga: Tuhan Begitu Mesra dengan Kita
Konon ide Benz menemukan mobil bertenaga mesin karena merasa sering lelah menggunakan sepeda yang menggunakan tenaga kayuh kaki manusia.
Dekat
Dalam kata yang lain kalau kita mau merenungi perjalanan sejarah transportasi, mulai dari kuda, unta, sepeda, sampai mobil, kapal bahkan pesawat, manusia seharusnya menyadari bahwa semua itu nikmat dari Allah Ta’ala.
Dahulu orang sangat terbatas jarak geraknya. Tetapi kini tidak lagi ada batasan. Pukul 13:00 WIB kemarin masih di pedalaman. Pukul 13:00 hari ini sudah bisa berada di Jakarta. Sungguh sebuah karunia Allah kita dapat merasakan nikmat tersebut.
Memang semua melalui proses kerja dan dedikasi manusia. Karl Benz dikabarkan sudah tertarik pada dunia sains sejak umur 9 tahun. Artinya tak ada yang instan.
Dan, jangan salah, urusan dunia (teknologi) itu adalah ruang “kebebasan” manusia beraktualisasi secara intelektual. Artinya, siapa yang tekun dia akan bisa menghasilkan produk teknologi. Sebagaimana Ibn Haytam menemukan teknologi optik hingga lahir kacamata dan kamera.
Sekarang tugas kita adalah berpikir bagaimana nikmat transportasi yang semakin hari kian canggih semakin membuat kita dekat kepada Allah Ta’ala.
Bukan Apa-Apa
Namun kalau kita lihat nikmat yang Allah berikan kepada Nabi Sulaiman AS, manusia sekarang hanya boleh bersyukur, tak patut mendapuk dada.
Kala itu ada “teknologi” super kilat. Yang diangkut bukan sebatas manusia dan barang, tetapi singgasana. Dan, itu terjadi dalam tempo sekedipan mata.
Akal kita mungkin agak “curiga” dengan kisah itu. Tetapi sadarilah, apa yang manusia capai hari ini, juga mustahil dalam akal manusia-manusia terdahulu.
Lihat saja bagaimana orang dahulu memasak beras menjadi nasi. Sekarang tanpa kompor, tanpa tungku, langsung colok ke stop kontak, beberapa saat kemudian matang. Itu ajaib bagi orang-orang Indonesia yang kala itu, listrik saja belum mereka kenal.
Tetapi soal kedekatan kepada Allah, apakah kita jauh lebih unggul daripada ibu, ayah, kakek dan kakek buyut?
Baca Lagi: Jangan Gundah, Tetap Istiqomah Hadapi Masalah
Idealnya ketika semua mudah, kita juga semakin gembur dalam ibadah dan amal kebaikan. Plus, mampu mengatur waktu untuk tunduk, taat, dan patuh kepada Allah. Sebab tanpa efek kepatuhan kepada Allah, semua teknologi itu tidak bernilai apa-apa bagi keselamatan hidup kita sendiri.
Pendek kata, kita boleh share kenikmatan naik sepeda, motor, mobil, kapal, bahkan pesawat terbang. Tetapi jangan lupa itu datangnya dari Allah.
Dengan cara seperti itu, perpindahan kita dari tempat ke tempat lain, bahkan yang sangat jauh, semakin membuat kita sadar, mengapa Allah memberikan kita nikmat sedemikian dahsyat itu?*