Puasa atau tepatnya shiyam sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama, maknanya adalah menahan. Menahan yang dimaksud adalah upaya mengendalikan hawa nafsu agar tunduk dan patuh kepada perintah Allah.
Pertanyaannya mengapa harus mampu menahan untuk tunduk pada perintah-Nya?
Baca Juga: Ramadhan Tiba Bahagia Kita Semua
Jawaban ringkasnya bagi akal dapat kita ambil di antaranya dari ungkapan bijak yang mengatakan bahwa sebuah perjalanan manusia, menang atau kalah, bahagia atau sengsara sangat ditentukan dari kemampuannya mengalahkan hawa nafsunya.
Jadi, siapa yang mampu menahan hawa nafsunya, maka akan beruntung dan berhasil. Dan, barang siapa gagal di dalam menahan hawa nafsunya, maka dia akan kalah dan nestapa.
Dengan demikian, syariah berupa shiyam ini sejatinya adalah kasih sayang Allah agar jiwa dan diri manusia terlatih untuk menjadi pribadi yang berhasil dan meraih kemenangan, bahkan kemenangan sejati.
Pacu Diri
Dengan pemahaman bahwa shiyam hakikatnya adalah mengendalikan hawa nafsu, idealnya Ramadhan mendorong diri lebih aktif dalam ragam kebaikan. Mulai dari sholat, membaca Alquran hingga amal sholeh lainnya.
Dalam hal ini kita bisa menyimak sejarah berupa keteladanan para ulama di dalam ibadah selama Ramadhan.
Zubaid bin Harits al-Yami (122 H). Jika tiba bulan Ramadhan, maka ia menyediakan Alquran dan mengundang para sahabatnya. (Lathaif al-Ma’arif, 319).
Aswad bin Yazid an-Nakha’i al-Kufi mampu mengkhatamkan Alquran dalam bulan Ramadhan setiap dua hari. Ia tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya’. Sedangkan di luar Ramadhan, Aswad mengkhatamkan Alquran dalam waktu enam hari.
Ada pula Qatadah bin Diamah. Dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini mengkhatamkan al-Qur`an sekali tiap pekan.
Tetapi tatkala Ramadhan, ia mengkhatamkan Kitabullah sekali dalam tiga hari. Apabila datang sepuluh hari terakhir, beliau mengkhatamkannya sekali dalam semalam. (Hilyah al-Auliya, 2/224 dan 228).
Artinya ada antusiasme tinggi di dalam ibadah, upaya nyata dalam memacu diri dengan kekuatan maksimal.
Lihat Diri
Sekarang mari lihat, di posisi mana diri kita selama ini. Manusia dengan kapasitasnya bisa diibaratkan beragam binatang dengan aneka kemampuan. Ada yang seperti burung, mampu terbang. Ada yang seperti kijang, mampu berlari kencang dan lain sebagainya.
Jadi, jika memang bisa dan senang menghatamkan Alquran maka lakukanlah. Tetapi, jika diri termasuk seorang profesional yang harus bertugas melayani masyarakat, maka lakukanlah semua itu dengan niat tulus ikhlas untuk ibadah kepada-Nya.
Baca Juga: Nikmatnya Membaca Alquran
Pada akhirnya, kita dapat meningkatkan kualitas diri dari yang biasanya menjalani kebaikan sebagai rutinitas, kini terasa dengan lebih semangat karena didasarkan pada kesadaran iman dan visi jauh ke depan.
Yang penting jangan sampai ada alasan. Misalnya mengatakan, “Saya kan bukan ulama, terus sekarang kan pandemi. Santai saja lah….!”
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan agar masyarakat tetap maksimal dalam menjalankan ibadah Ramadhan di tengah wabah virus Covid-19. Hanya saja, pelaksanaannya mesti dengan aturan yang berlaku.
Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam menyampaikan, “Kuncinya wabah tidak menghalangi pelaksanaan ibadah, cuma ibadahnya dilakukan dengan adaptasi seiring dengan kondisi kontemporer kita berada,” kata Asrorun dalam konferensi pers secara virtual, Senin (12/04/2021).
Jadi, tidak ada alasan ya. Dan, yang tak kalah penting dicatat, kebaikan Ramadhan sangat banyak.
Ulama dengan Alquran, pedagang tentu dengan hasil perniagaannya, sedekahlah sesering mungkin di bulan Ramadhan.
Intelektual dan cendekiawan, turunlah berikan pencerahan di tengah-tengah umat, ini saat dimana hati masyarakat terbuka menerima kebenaran.
Bahkan, kalau diri masih remaja, belum ada penghasilan, maka paculah diri kalian berbakti kepada kedua orangtua dengan sebaik-baik pengabdian. Allahu a’lam.
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah