Siapa yang tidak mengenal Shalahuddin Al-Ayyubi alias Saladin? John Man pun tertarik dan mengulas sosok itu dengan narasi penuh hormat dalam bukunya berjudul Shalahuddin Al-Ayyubi. Nah, kita akan melihat bagaimana Shalahuddin dalam tinjauan seorang John Man.
“Shalahuddin pastinya tumbuh sebagai sosok yang “ulet” dalam pengertian yang disukai oleh psiloligi modern.”
Ia pun menguraikan bagaimana pribadi yang ulet itu dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, memiliki kemampuan memecahkan masalah. Ini berarti Shalahuddin adalah sosok yang aktif membaca, berpikir dan melihat semua aspek, sebelum sampai pada kesimpulan dan mengambil keputusan.
Kedua, memiliki kompetensi sosial. Artinya Shalahuddin merupakan pemimpin yang tahu kondisi masyarakat, bukan menara gading.
Baca Juga: Shalahuddin Al-Ayyubi di Tangan John Man
Ketiga, selalu sadar akan tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa Shalahuddin selalu mempertimbangkan banyak hal, apakah relevan dengan pencapaian tujuan ataukah tidak.
Sebenarnya masih ada beberapa poin lagi yang John Man uraikan. Namun kita cukupkan tiga poin tersebut dalam ulasan kali ini.
Perkaderan
Apa yang ada dalam sosok Shalahuddin Al-Ayyubi sangat relevan bagi segenap elemen umat Islam dalam hal melakukan perkaderan. Bagaimana melahirkan sosok pemimpin unggul.
John Man menulis, untuk bisa mencetak orang-orang yang sangat sukses, sekali lagi, sangat sukses, menurut Malcolm Gladwell perlu yang namanya mentor.
Shalahuddin Al-Ayyubi bisa seperti itu karena sosok sang ayah yang baik, tulus dan dermawan. Jadi, kalau Shalahuddin tumbuh jadi anak yang ulet, itu karena mentoring sang ayah.
Namun, selain sang ayah, ada juga sang paman, yang juga menjadi mentor Shalahuddin.
Pertama adalah Syirkuh yang merupakan pejuang tangguh. Kedua adalah Nuruddin sang penguasa Aleppo dan Mosul, musuh tentara Salib.
Kata Gladwell tanpa kedua orang itu, Shalahuddin mungkin tetap tidak menjadi siapa-siapa.
Artinya, lahirnya pemimpin sangat membutuhkan sosok mentor yang kuat, tangguh dan andal. Tidak akan ada perkaderan tanpa adanya senior yang memadai menjadi seorang mentor.
“Menikmati” Kesulitan
Berbicara kepemimpinan sebenarnya bukan soal fasilitas. Akan tetapi siapkah diri menjadi pihak yang “menikmati” kesulitan.
Satu unsur utama dalam kepemimpinan ialah adanya kesiapan mental untuk menghadapi, menanggung dan menyelesaikan kesulitan. “Sifat kepemimpinan revolusioner menuntut hal itu,” kata John Man.
Shalahuddin memiliki kemampuan itu. Ia bahkan tidak pernah mundur dalam perjuangan. Ketika menang sekalipun, tak terbesit dalam dirinya bagaimana ia punya rumah, sawah, ladang, kebun, taman dan atau apapun yang sifatnya materi.
John Man menulis, “Dia (Shalahuddin) tidak meninggalkan barang, rumah, tanah, taman, desa, lahan budidaya, maupun segala bentuk harta benda lain.”
Baca Lagi: Ujian Terberat Pemimpin
Nah, kalau ada sosok senior yang mau dan mampu menjadi mentor dengan nilai keteladanan seperti itu, maka ke depan, generasi Shalahuddin Al-Ayyubi bisa sama-sama kita nantikan kehadirannya.*