Home Kisah Senyum Membaca Kisah AR Baswedan
Senyum Membaca Kisah AR Baswedan

Senyum Membaca Kisah AR Baswedan

by Imam Nawawi

Malam belum nian larut. Sempat bingung segera tidur atau beraktivitas. Akhirnya kusambar buku berjudul “A.R. Baswedan. Saya Muslim, Saya Nasionalis.” Membaca kisah AR Baswedan itu saya menjadi tersenyum, kagum.

Semua berawal dari kisah AR Baswedan bersama Agus Salim, Dr Mr Nazir St. Pamuntjak, dan M. Rasjidi yang baru saja mendarat di Kaior pada 10 April 1947.

Mereka berempat menjinjing aktentas (tas kantor) sederhana yang kuncinya sering nyangkut.

Baca Juga: Tahun 2022 Ini Pesan Anies Baswedan

Waktu itu Indonesia belum punya paspor. Jadi mereka membawa secarik kertas kumal keluaran Kementerian Luar Negeri dengan tulisan: “Surat Keterangan dianggap sebagai Paspor.”

Dari semua penumpang pesawat di bandara hanya empat orang Indonesia itu yang menggunakan sepatu sandal lusuh. Tapi jangan tanya mental dan ketajaman pemikirannya.

Tak Kenal Indonesia

Sesi laporan pun tiba, empat-empatnya melangkah menemui petugas imigrasi. AR Baswedan menuturkan dengan menarik.

“Pegawai imigrasi, tinggi besar dengan kumis melintang, mengamati “paspor” kami.

Roman mukanya agak berkerinyut, dan Haji Agus Salim cepat memberi keterangan bahwa kami adalah anggota delegasi “Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia.”

Petugas itu mengangkat bahu tanda tak mengerti atau tak mengenal Indonesia.

Kata AR Baswedan, “Rupanya ia tidak pernah belajar ilmu bumi tentang Indonesia.”

Tiba-tiba petugas itu bertanya. “Are you Moslem?”

“Yes!” jawab mereka berempat.

“Jawaban yang spontan seperti paduan suara, sehingga kami berempat saling berpandangan sambil tertawa.”

Tampak sekali bukan, bagaimana anak-anak muda Indonesia itu sangat percaya diri dengan pakaian yang benar-benar dan sangat sederhana.

“Keluyuran”

Berada di Mesir, AR Baswedan tidak mau kehilangan momentum, ia ingin segera “keluyuran” mencari berita. Maklum ia pemuda yang juga seorang jurnalis (wartawan).

Tetapi niat itu tidak bisa berjalan begitu saja, mengingat sang komandan, Haji Agus Salim meminta AR Baswedan menerjemahkan buku tentang tata cara bagi diplomat.

Namun, AR Baswedan benar-benar tidak bisa menahan hasratnya. Ia pun “ngeluyur.” mengunjungi tokoh-tokoh pers, para sastrawan dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya.

“Acara ‘keliling’ itu tidak begitu sulit, karena sebagian dari tokoh-tokoh itu sudah lama saya kenal lewat tulisan-tulisan mereka dalam koran atau majalah Mesir yang bisa didapat di Indonesia.”

Tetapi tetap saja, langkah “ngeluyur” itu mengundang amarah Haji Agus Salim.

“Tetapi, ketika saya laporkan hasil-hasil ‘keluyuran’ itu, beliau diam saja.

Baca Lagi: Ujian Terberat Pemimpin

Wajahnya tidak berubah, meskipun saya tahu pasti bahwa hatinya senang. Sekian tahun bertetangga dengan beliau, sejak zaman Belanda, membuat saya cukup “mafhum” akan “gaya” nya. Begitulah Bapak kita yang eksentrik itu,” selorohnya.

Kisah itu memberikan pelajaran bahwa orang yang punya visi akan selalu punya rasa percaya diri. Ia tahu apa yang harus ia temukan dan kabarkan. Lebih jauh, ia tidak kembali dari satu kegiatan, melainkan membawa amunisi untuk perubahan. Keren-keren ya, pemuda Indoensia kala itu?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment