Senyum melihat Indonesia apakah mungkin? Kita tahu orang yang tersenyum adalah yang melihat sesuatu lucu walau itu berupa fakta.
Termasuk fakta-fakta perilaku aneh mereka yang punya gelar akademik dan mereka yang punya jabatan tinggi. Bagi sebagian orang jelas itu menjengkelkan. Tapi sebaiknya kita tetap tersenyum.
Rasulullah SAW memberikan teladan akan hal itu. Anas, ia berkata, “Aku berjalan bersama Rasulullah, beliau mengenakan selendang dari Najran yang tepinya kasar.
Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dari belakang beliau menarik selendangnya dengan keras, hingga aku melihat ada bekas tepi ujung sselendang di tengkuk Rasulullah karena kuatnya tarikan Arab Badui itu.
Baca Juga: Membaca Serius untuk Indonesia Merdeka
Kemudian Arab Badui itu berkata, “Wahai Muhammad, perintahkanlah agar aku diberi sebagian dari harta Allah yang ada padamu.”
Rasulullah menoleh kepadanya sambil tertawa. Kemudian Rasulullah memerintahkan agar ia diberi suatu pemberian.” (Muttafaqun Alaih).
Lalu mengapa Rasulullah SAW tertawa dengan polah dari Badui itu? Tidak lain karena orang seperti itu adalah orang yang tidak tahu dan tidak ada perkara penting selain soal harta, sampai Badui itu lupa bahwa dirinya manusia yang harus menghargai manusia yang lain.
Jadi, bisa kita imajinasikan, tindakan yang kasar dan tidak sopan, kadangkala harus kita kasihani, karena orang seperti itu sedang lupa akan dirinya sebagai manusia. Dia sedang benar-benar lucu.
Ubah Sudut Pandang
Suatu waktu saya pernah mendengar penjelasan Cak Nun perihal bagaimana memandang eksistensi Belanda di Indonesia.
Kata Cak Nun, jangan merasa kita telah terjajah. Tapi kita telah berbuat baik dan memberikan yang kita miliki sebanyak-banyaknya untuk Belanda. Walaupun itu Belanda lakukan dengan cara merampas dari bumi pertiwi.
Tentu saja sudut pandang itu menjadikan psikologi bangsa ini superior. Berbeda kalau merasa terjajah, maka kita selamanya akan menyalahkan pihak luar, tanpa berupaya melakukan upaya perbaikan dari dalam.
Kalau kita katakan bahwa Belanda telah kita beri banyak sekali untuk membangun negaranya selama berada di Nusantara, maka itu akan membuat psikologi kita rileks dan tentu saja mulai bisa tersenyum.
Pemimpin Miskin
Nah, hal yang tidak jauh berbeda juga perlu kita hadirkan dalam melihat sebagian dari pemimpin negeri ini yang ternyata miskin. Miskin keberpihakan, miskin ide, dan tentu saja miskin pengorbanan.
Padahal pengorbanan itu kebutuhan jiwa. Manusia terdiri dari ruh, akal dan jasad. Kebutuhan ruh ibadah, termasuk berkorban. Kebutuhan akal tadabbur Quran, kebutuhan jasad makan, minum dan istirahat.
Kalau ada pemimpin maunya apa-apa rakyat yang nanggung, tenang saja, itu pemimpin memang miskin, miskin keberpihakan dan miskin pengorbanan. Jenis pemimpin seperti itu sangat senang kalau rakyat menanggung apapun kebutuhan negara.
Jadi, tidak perlu marah. Senyum saja. Toh soal rezeki Allah Maha Kaya. Mau BBM naik harga berapapun, rezeki Allah tidak akan pernah habis.
Baca Lagi: Seperti Apa Kemerdekaan Indonesia?
Lalu bagaimana tanggungjawab pemimpin? Tenang saja, waktu akan mengukur, Tuhan menilai dan sejarah mencatat.
Tugas kita tetap tersenyum agar bisa terus segar berpikir dan tidak putus ada menjalani kehidupan yang elit global gambarkan akan sulit, akan begini dan akan begitu.
Seakan-akan dunia ini dalam genggaman mereka. Tidak sama sekali. Dunia dan kehidupan seutuhnya dan sepenuhnya ada dalam genggaman Allah Ta’ala. Jadi, senyum saja, selain bikin fresh jiwa dan pikiran juga mendapat pahala sedekah.*