Mas Imam Nawawi

- Hikmah

Sentuhan Spiritual: Dua Teladan Pemimpin Adil yang Mengguncang Sejarah

Sore ini, 13 Oktober 2025, tangan saya bergerak secara “acak” di Kantor Majalah Suara Hidayatullah, Jakarta, dan menemukan sebuah pencerahan. Saya bertemu dengan buku inspiratif bertajuk “Sentuhan Spiritual” karya Aidh al-Qarni. Salah satu intisari ulasan di dalamnya menukik tajam pada isu krusial: Pemimpin yang Adil. Tema ini terasa begitu penting dan mendesak. Dunia hari ini, […]

Sentuhan Spiritual: Dua Teladan Pemimpin Adil yang Mengguncang Sejarah

Sore ini, 13 Oktober 2025, tangan saya bergerak secara “acak” di Kantor Majalah Suara Hidayatullah, Jakarta, dan menemukan sebuah pencerahan. Saya bertemu dengan buku inspiratif bertajuk “Sentuhan Spiritual” karya Aidh al-Qarni. Salah satu intisari ulasan di dalamnya menukik tajam pada isu krusial: Pemimpin yang Adil.

Tema ini terasa begitu penting dan mendesak. Dunia hari ini, baik di Amerika, Eropa, maupun Asia, rasanya masih kesulitan menyebutkan satu sosok pemimpin yang benar-benar adil secara universal.

Daripada sibuk mencari-cari sosok ideal di era kontemporer, Aidh al-Qarni membawa kita menengok ke belakang, ke panggung sejarah, tempat keadilan pernah nyata menjelma dalam dua nama besar.

Pemimpin Adil yang Pertama

Pertama, tentu saja, Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah pemimpin yang dicintai rakyat, bukan karena kekuasaan, melainkan karena kemuliaan akhlak.

Beliau adalah teladan ketakwaan yang memudahkan beliau untuk mencintai orang fakir dan miskin.

Kualitas kepemimpinannya terlihat jelas dari keterbukaannya: tidak sulit bagi Nabi untuk menerima saran yang datang dari sahabat-sahabatnya. Ini adalah cerminan pemimpin yang rendah hati dan melibatkan umat.

Pemimpin Adil Kedua

Kedua, Umar bin Abdul Aziz ra. Beliau adalah sosok pemimpin yang tak menunda perubahan. Begitu pengukuhan dirinya sebagai khalifah, ia langsung menunjukkan transformasi radikal.

Kala turun dari mimbar, ia berkata, “Aku hanya seorang laki-laki muslim, hanya saja aku muslim yang lebih banyak menanggung beban dan tanggung jawab di hadapan Allah. Cukup dekatkan bighalku.”

Bighal itu semacam keledai. Beliau memilih itu karena dalam tradisi sebelumnya, khalifah selalu mendapat kesempatan untuk menunggangi kuda terbaik. Bagi Umar bin Abdul Aziz itu artifisial belaka. Karena rakyat akan hormat bukan dari kendaraan, tapi keadilan sang pemimpin.

Tidak berhenti di kata-kata, Umar bin Abdul Aziz segera bertindak. Ia pulang, menjual gedung miliknya, kemudian menyedekahkan semua perabotan dan barang-barangnya untuk fakir miskin.

Jadi kekuasaan bukan untuk memperkaya diri, melainkan sarana untuk mengabdi total kepada Allah dan umat. Umar tak menunggu tapi langsung melakukan.

Begitulah sejatinya pemimpin yang sadar. Mereka memilih takwa sebagai jalan hidupnya, dengan tegas ia meletakkan paling bawah cara bernalar duniawi.

Sebab, apabila seseorang atau pemimpin meminta perlindungan kepada selain Allah, maka ia telah menyerahkan lehernya pada kelemahan dan kelumpuhan.

Keadilan sejati bersumber dari kesadaran bahwa kekuasaan hanyalah amanah berat di hadapan Sang Pencipta.

Mari kita gerakkan kesadaran ini, bukan hanya untuk mencari pemimpin adil, tapi untuk menjadi pribadi yang adil. Tidak mudah, tapi jangan ragu untuk terus memulai dan berproses.*

Mas Imam Nawawi