Tepat 2 Muharram 1443 H saya diberi kesempatan mengisi Seminar Muharram yang pesertanya adalah para santri SMP Integral Depok dengan tema Refleksi 50 Tahun Hidayatullah (11/8).
Pada kesempatan itu saya menyampaikan perihal pentingnya kaum muda bangsa, generasi harapan umat ini mematangkan kedewasaan dengan melatih diri gemar berpikir sekaligus dzikir.
Baca Juga: Keindahan Akhlak dan Kesehatan
Berpikir di sini bukan sebatas memecahkan masalah dengan pendekatan rumus, layaknya kajian ilmu alam (eksak) tetapi lebih pada sisi bagaimana kesadaran dan mental dibangun, sehingga sejak belia pilihan dan sikap hidupnya benar-benar diarahkan sesuai tuntunan Islam.
Masa Muda Pendiri Hidayatullah
Dalam kesempatan tersebut saya ceritakan perihal bagaimana Ustadz Abdullah Said masih muda.
Di usia sangat belia, pria yang pernah aktif di berbagai organisasi pelajar dan pemuda itu telah memiliki kemampuan unggul.
Satu di antaranya ialah mampu menjadi khotib Jumat di masjid-masjid besar di Makassar dan sekitarnya.
Itu berarti di luar kapasitasnya membawakan khutbah dalam keseharian bisa ditebak, beliau adalah orang yang aktif mengisi waktu dengan ilmu, diskusi dan aksi.
Saya pun bertanya ke beberapa peserta mengenai berapa umur mereka. Pada yang mengatakan usianya 13 tahun, saya motivasi dengan ungkapan, berarti 4 tahun lagi sudah harus bisa menjadi khotib Jumat.
Saya pun melanjutkan pertanyaan itu dengan memberikan tantangan kepada mereka.
“Siapa yang kalau Jum’at, khotib sedang khutban dan kalian serius mendengar alias tidak tidur?”
Beberapa pun angkat tangan. Saya ambil dua peserta untuk maju. “Silakan khutbah sekarang,” pintaku kepada mereka.
Satu santri bingung harus bagaimana. Saya sampaikan ambil muqoddimahnya. Satu santri baca ayat kursi, satu lagi membawakan muqaddimah walau tidak sempurna.
Usai sesi itu saya sampaikan, bahwa inilah tantangan kalian. Ke depan, siapa yang rajin berlatih, menghijrahkan pikiran dan kebiasaannya pada kebaikan, maka ia akan menjadi orang yang bermanfaat.
Seperti Ustadz Abdullah Said, masih muda, telah menebar ilmu, melakukan dakwah bahkan mampu membangun gerakan dakwah dan tarbiyah untuk tegaknya peradaban.
Sesi Diskusi
Setelah panjang lebar mengajak para santri menjalani sesi seminar dengan pola interaktif itu, mereka ternyata bangkit kesadarannya.
Sesi diskusi, ada yang berani bertanya bahkan menyampaikan aspirasi dirinya selama ini dalam hidup, yang kerapkali harus mentah karena dikomentari teman dengan bahasa yang tidak membangun.
Pendek kata, seminar ini mendorong para santri untuk hijrah pikiran dan kesenangan. Hijrah pikiran dengan menyiapkan diri siap “bertarung” di masa depan.
Hijrah kesenangan adalah dampak dari hijrah pikiran. Saya tantang mereka, apakah kalian mau berhenti kala libur dan sedang memegang hape di rumah kemudian tidak membuka aplikasi game dan bermain game.
Baca Lagi: Moral Sangat Menentukan Kemajuan Bangsa
Sebagian mengangguk, sebagian diam, sebagian ragu untuk menggeleng.
Tetapi, apapun respon mereka, saya yakin ada satu pertarungan kesadaran di dalam diri mereka, bahwa memang sekaranglah saat mereka menata masa depan lebih baik untuk umat yang maju dan bermartabat.*