Semalam (31/7/24) saya berkesempatan mengisi kegiatan sharing tentang menulis bersama puluhan mahasiswi STIQ Hidayatullah Deli Serdang. Pada sesi diskusi seorang mahasiswi bertanya perihal bagaimana memiliki semangat dalam menulis. Ia menegaskan satu hal, apakah masih perlu menulis, mengingat sekarang banyak orang tidak suka membaca. Tahu apa jawaban saya?
Seperti sebelum-sebelumnya, saya menegaskan bahwa untuk memiliki semangat tinggi dalam menulis, lakukanlah menulis itu karena Allah.
Bukankah menulis itu harus menghasilkan? Itu tidak salah.
Mestinya menulis itu bisa membuat kita berdaya? Saya sepakat.
Tapi, pernahkah kita mendengar Nabi Muhammad SAW shalat malam hingga telapak kakinya membengkak?
Saat Aisyah ra sebagai istri melihat itu dan bertanya apakah masih perlu seorang Nabi, yang dosa tidak punya dan pasti Allah jamin surga, penting melakukan shalat sampai seperti itu kondisinya?
Nabi SAW pun berkata, “Apakah saya tidak boleh menjadi hamba Allah yang bersyukur?”
Baca Juga: Malu Kepada Buya Hamka, Mengapa Kita Tidak Menulis
Kepada semua yang hadir, termasuk Ustadz Darmawan Sriyanto, MSi, sebagai Ketua STIQ Hidayatullah Deli Serdang, saya katakan, “Apakah kita tidak mau bersyukur kepada Allah dengan bersemangat menulis?”
Logika
Dalam upaya semangat menulis sebagai wujud syukur, saya membangun logika tersendiri.
Biasanya, teman-teman junior sering bertanya, “Bang mengapa bisa menulis setiap hari?”
Saya katakan kepada mereka, bukankah kita makan setiap hari. Mereka mengangguk. Bukankah Allah memberikan rahmat kepada setiap hari, sama mereka tidak menggeleng. Lalu kalau rahmat Allah setiap hari, setiap saat datang, apakah salah kalau saya menulis setiap hari?
Jadi, jangan melakukan sesuatu tanpa alasan sekaligus tujuan. Bahkan kalau perlu kita harus memiliki bangunan logika tersendiri dalam menekuni sesuatu, menulis misalnya.
Baca Lagi: Apa yang Bisa Kita Lakukan, Fokuslah!
Dan, mengapa kita tidak memiliki bangunan logika sendiri dalam melakukan kebaikan, sedangkan orang yang malas, bahkan sering melakukan kejahatan juga memilih bangunan logikanya sendiri, meski rapuh dan mengundang kerugian.
Buya Hamka
Kalau kita mau jujur, malu kepada Buya Hamka. Beliau menulis buku, artikel, bahkan memimpin surat kabar di Medan dalam masa pra kemerdekaan, dalam situasi dan kondisi rakyat Indonesia sebagian besar masih buta huruf.
Coba tanyakan pertanyaan yang sama itu kepada Buya Hamka. “Buya, apa yang membuatmu tekun menulis, sedangkan tak banyak orang bisa membaca?”
Sahabat sekalian, menulis adalah perkara penting. Karena setiap tulisan bisa kita ibaratkan satu cahaya, menyinari kehidupan. Jikalau dunia ini gelap dan kita tidak menulis, maka siapa yang akan menerangi?
Bukankah ada orang tertentu, kelompok tertentu, giat menulis untuk menipu, mengecoh dan menjauhkan kita dari cahaya kebaikan?
Jika mereka tahu yang mereka tulis salah dan dengan niat yang tidak benar, bersemangat dalam menulis, maka mengapa kita tidak semangat? Bukankah kita tahu dengan niat yang baik, menulis akan mendatangkan kebaikan, cahaya, bahkan pahala?
Jadi, ayo tata kembali kesadaran kita. Mulailah menulis karena Allah. Dan, mulailah budaya menulis dengan baik. Menulislah untuk dirimu sendiri, agar jiwamu menemukan kedamaian. Menulislah untuk sesama, agar ilmu dalam hatimu menjadi amal jariyah. Dan, menulislah untuk menerangi semua.*