Siang ini saya berkumpul dengan para senior, paling senior adalah Ustadz Hamim Thohari. Usai bincang serius, tibalah masa bincang ringan, bicara tentang sejarah tulisan. Tepatnya, tulisan-tulisan di Majalah Suara Hidayatullah.
Ketika itu untuk melahirkan media itu butuh tekad kuat, prioritas tinggi. Sebab ada banyak kendala yang tak mudah untuk dapat solusi.
Baca Juga: Menulis untuk Bermanfaat
Namun, perjalanan memberi bukti, bahwa semua bisa teratasi dengan baik. Termasuk ketika berbicara tentang menulis dengan mesin ketik.
Perjuangan
Menulis ketika itu sangat butuh perjuangan. Mesin ketik yang ada banyak kelemahan kalau kita ukur dari alat tulis seperti keyboard sekarang.
Mulai dari harus lincah dan kuat posisi jari, perhitungan untuk memastikan naskah bisa rata kanan, juga butuh perhitungan.
Semua itu makan waktu, proses yang tak singkat, seperti kita sekarang. Namun indahnya, tulisan-tulisan ketika itu tetap hadir memberi inspirasi.
Hampir semua tokoh nasional yang kujumpai, mereka tidak ada yang masa mudanya tidak membaca Majalah Hidayatullah. Subhanallah.
Tak berbayang olehku bagaimana dahulu Imam Malik, Imam Syafi’i, terus sampai kepada para saintis Muslim membaca dan tekun menulis, hingga menghasilkan karya kitab berjilid-jilid versi sekarang. Mereka benar-benar pejuang tangguh.
Sekarang?
Lalu bagaimana sekarang?
Bukankah keyboard sekarang mudah, ada yang bisa connect via bluetooth dan tersambung dengan gawai kita, yang setiap hari kita tatap?
Lalu mengapa tidak muncul tulisan?
Baca Lagi: Menulis itu Memulai
Sebelum rapat dengan para senior, saya juga sempat jumpa dengan 3 jurnalis junior di kantor Majalah Suara Hidayatullah.
Saya sampaikan kepada mereka, mengapa sekarang tulisan menjadi yang banyak orang jauhi?
Ulfa Hadi, lalu bertanya, apakah Ustadz (maksudnya saya) masih menulis setiap hari. Saya menjawab, “Iya.”
“Bahkan kalau satu hari tidak sempat menulis, maka akan kuganti esoknya dengan menulis dua artikel.”
Sekarang, menulis itu juga sama butuh perjuangan. Bukan lagi pada alat, tapi niat, tekad dan bahkan visi. Kalau generasi muda Islam tidak menulis, jangan salahkan dunia, kalau wacana destruktif lebih dominan dari visi dan misi kita sebagai Muslim.*