Mas Imam Nawawi

- Kajian Utama

Sebuah Kalimat Menjamin Surga, Kok Bisa?

Islam memang kompleks, bukan saja sebagai agama tetapi juga peradaban. Namun Islam sangat simpel, sejauh hati manusia terbuka sadar kemudian lisannya mengucapkan “Laa ilaaha Illallah.” Kalimat itu merupakan penjamin seseorang masuk ke Surga-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api Neraka menyentuh siapa saja yang mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah” yang melalui ucapan itu dia mengharapkan […]

Sebuah Kalimat Menjamin Surga, Kok Bisa?

Islam memang kompleks, bukan saja sebagai agama tetapi juga peradaban. Namun Islam sangat simpel, sejauh hati manusia terbuka sadar kemudian lisannya mengucapkan “Laa ilaaha Illallah.” Kalimat itu merupakan penjamin seseorang masuk ke Surga-Nya.

Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api Neraka menyentuh siapa saja yang mengucapkan “Laa Ilaaha Illallah” yang melalui ucapan itu dia mengharapkan wajah-Nya.” (HR. Bukhari).

Hadits itu memang tampak sederhana. Begitu mudahnya Allah memberikan jalan untuk anak manusia masuk ke dalam Surga.

Namun perhatikanlah kronologi setiap orang yang menemukan Islam. Saat mereka akan mengucapkan syahadat, perjuangannya luar biasa dalam mengkaji Islam. Setelah bersyahadat mereka berhadapan dengan risiko “terbuang” dari keluarganya sendiri.

Baca Juga: Modal Surga itu Sabar

Oleh karena itu kita yang sejak lahir memang telah mengenal Islam sebagai agama dan jalan hidup, harus benar-benar menyadari, bahwa iman yang ada dalam dada kita itu adalah hal yang luar biasa tak ternilai.

Orientasi Hidup

Kalimat “Laa ilaaha Illallah” bukan sekadar ucapan. Itu merupakan buah dari kesadaran mendalam seseorang akan siapa sebenarnya Tuhan itu.

Kata Gus Baha, Allah itu yang memberi kita makan. Simpel dalam Alquran, Allah mengatakan Tuhan itu Allah yang memberi kita rezeki. Orang boleh punya jabatan, pasukan dan kekayaan, tapi kalau tidak bisa makan, dia pasti akan mati.

Oleh karena itu, kata Gus Baha, orang beriman itu simpel menjalani kehidupan. Bisa makan, dia bersyukur. Bahkan ada seseorang yang menjadi “wali” karena ia sadar betapa dirinya tak berdaya apa-apa kalau tidak makan apa yang Allah rezekikan.

“Ya Allah, saya ini bisa begini dan begitu, ternyata kalau tidak Engkau beri makan, saya akan lemah. Seberapa bergantungnya saya dengan rezekimu ya Allah.” Begitu sering Gus Baha mengilustrasikannya.

“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi).

Jadi, kalimat “Laa ilaaha Illallah” itu memang sederhana tapi tidak bisa kita sederhanakan. Kalimat itu bisa membentuk orientasi hidup seorang Muslim.

Syukuri

Mengapa kita beribadah, mengapa berpuasa dan mengapa harus menjalani hidup dengan akhlak? Karena kita butuh mensyukuri kalimat “Laa ilaaha Illallah” yang telah Allah tanamkan di dalam dada kita.

Baca Lagi: 3 Bukti Seorang Hamba Bersyukur

Semakin kencang kita mensyukurinya, semakin terasa manisnya keimanan dalam hati. Kehidupan akan semakin terarah, penuh manfaat dan maslahat.

Akan tetapi semakin kita melupakan untuk merawat “Laa ilaaha Illallah” di dalam hati ini, akan semakin runyam urusan hidup. Kian jauh dari kebahagiaan. Dan, biasanya cara berpikir dan berbuat seseorang mulai menyimpang dari nilai-nilai adab, akhlak, bahkan iman.*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *