Mas Imam Nawawi

- Artikel

Sampai Kapan Terus Menyalahkan Keadaan?

Suatu hari seorang teman datang dan berkata dengan suara kencang dan bergetar, “Hidupku sudah tidak berarti lagi. Orang yang kupercaya ternyata justru mengkhianatiku”. Sembari menanti ia selesai bertutur, dalam hati saya berkata, “Sampai kapan kita harus terus menyalahkan keadaan?” Apakah bisa orang lain menghancurkan hidup seseorang karena tidak lagi bisa dipercaya? Saya kira tidak ya, […]

Saya kira tidak ya, teman-teman. Bayangkan bagaimana Nabi Muhammad SAW mendapat perlakuan buruk dari orang-orang kafir. Beliau SAW tidak merasa hancur karena dakwahnya ditolak

Suatu hari seorang teman datang dan berkata dengan suara kencang dan bergetar, “Hidupku sudah tidak berarti lagi. Orang yang kupercaya ternyata justru mengkhianatiku”. Sembari menanti ia selesai bertutur, dalam hati saya berkata, “Sampai kapan kita harus terus menyalahkan keadaan?”

Apakah bisa orang lain menghancurkan hidup seseorang karena tidak lagi bisa dipercaya?

Saya kira tidak ya, teman-teman. Bayangkan bagaimana Nabi Muhammad SAW mendapat perlakuan buruk dari orang-orang kafir. Beliau SAW tidak merasa hancur karena dakwahnya ditolak.

Justru keimanan beliau mendorong untuk lebih menyala di dalam dakwah, mengajak orang lain dalam kebaikan dengan berbagai cara, terutama keteladanan.

Bayangkan pula kalau Soekarno Hatta juga merasa hancur hidupnya karena lahir di negeri ini dalam kondisi Indonesia terjajah! Tentu ia tidak merasa perlu belajar apalagi berjuang. Apalagi bolak-balik harus menjadi tahanan politik Belanda.

Artinya, dalam menghadapi realitas, kita seharusnya maju terus dan pantang menyerah. Tidak terpengaruh keadaan, tetapi fokus pada tujuan-tujuan mulia dalam hidup ini. Seperti Nabi Yusuf as, terus asah kemampuan, tajamkan keyakinan dan terus benahi diri menjadi sangat berkualitas.

Keadaan Akan Berubah

Keadaan akan selalu berubah. Pagi, siang, sore dan malam jelas berbeda. Artinya, jika sikap dan kondisi hati kita tergantung pada keadaan, maka akan sangat lelah hati dan pikiran kita.

Baca Juga: Hidup Bahagia Membahagiakan

Oleh karena itu kalau ada hal yang menyakitkan, seperti kata-kata hinaan dari orang, maka sikap terbaik kita bukan mengambil dan memikirkannya. Tetapi buang dan melupakan. Untuk apa terus mencium bau busuk. Pasti sangat tidak enak.

Sampah itu pasti jelek dan bau. Maka jangan dekati apalagi sampai bersimpuh di depan sampah. Tetapi kalau punya ilmu, datangilah sampah dan kelola sampai menjadi barang baru yang bermanfaat.

Dalam kata yang lain, keadaan akan berubah. Kemudian cara kita yang semakin berbasiskan ilmu akan potensial mengubah sudut pandang kita terhadap keadaan secara lebih menyeluruh.

Bangkit

Kalau kita ingin bahagia, lupakan ucapan orang, terutama perkataan yang memang tidak layak untuk kita ingat. Buat apa mengingat ucapan buruk. Orang yang mengatakannya saja mungkin tanpa melibatkan otak.

Alquran itu jelas memberikan jalan kepada kita. Pertama jadilah pemaaf. Kedua aktif mendorong orang melakukan yang ma’ruf. Ketiga, jangan pedulikan orang-orang yang bodoh. (Lihat QS. Al-A’raf: 199).

Kalau Alquran sudah menyuruh kita menjauhi orang bodoh, buat apalagi kita mendekati dan menyempatkan diri membahas ucapan-ucapannya yang destruktif!*

Mas Imam Nawawi

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *