Hari ini (12/8) bisa dikatakan saya “terlambat” membuka whatsapp. Tapi saya senang, karena jemari saya diarahkan pada postingan Ustadz Aqib tentang sahabat. Akhirnya jadilah judul ini, sahabat dan setengah abad Hidayatullah.
Saya langsung kutip secara utuh, bagaimana postingan Ustadz Aqib Junaid itu.
“Banyak yang terekam saat itu diantaranya, menggelegar dan menggelepar tandang ke gelanggang menyadap dan menyedot quwah Ilahi.
Baca Juga: 3 Hal Penting dalam Peristiwa Hijrah
Tapi belum paham apa muatannya saat itu, sehingga yang paling mudah dipahami (ialah) dengan turun kerjabakti setiap hari dan tidak tahu kapan selesai agenda kerjabakti.
Ditambah lagi godaan teman- teman yang selalu ngajak lari dan pulang kampung dengan bahasa ‘Di sini tidak belajar kita, cuma bersihin pondok tiap hari.’
Semakin goncang rasanya untuk lari juga. Namun ceramah Allahuyarham dengan cepat menghapus sirna niatan untuk lari.”
Penjelasan Imam Ghazali
Usai mengerjakan beberapa tugas rutin yang biasa saya lakukan pagi hari, saya pun membuka Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Ghazali.
Di sana ada kutipan ungkapan dari Hasan Al-Bashri. Berikut isinya.
“Sahabat bisa jadi lebih kita kasihi daripada istri dan anak. Sebab, biasanya keluarga kita memeringatkan kita tentang urusan dunia ini. Akan tetapi, sahabat kita di jalan Allah akan senantiasa memeringatkan kita akan urusan akhirat kelak.”
Dari dua fakta tersebut saya mengambil kesimpulan bahwa yang layak jadi sahabat dalam kehidupan kita untuk kebaikan masa depan hidup kita bukanlah yang semata-mata seangkatan, seumuran atau sepermainan.
Tetapi orang yang memang dalam hatinya ada kejernihan sehingga mengajak kita menekuni satu jalan yang tampak tidak mudah tapi itulah cara menuju kebahagiaan yang sejati.
Lihat saja fakta sejarah, bahwa semua yang disebut sahabat Nabi, bukan hanya Abu Bakar dan Umar, tapi semua kaum Muslimin yang sezaman dan paling setia kepada perjuangan Rasulullah SAW.
Kekuatan Persahabatan
Jadi, dalam setengah abad perjalanan dakwah dan tarbiyah Hidayatullah, sisi yang tidak kalah penting menopang gerakan ini mampu eksis adalah persahabatan.
Saya masih ingat, bagaimana Ustadz DR. Abdul Mannan tumpah air matanya kala shotitng taushiyah tentang sholat Tahajjud.
Hati dan pikiran pribadi penulis buku era peradaban baru itu sebenarnya ragu bahwa masa depannya akan baik bersama Ustadz Abdullah Said membangun dakwah melalui Hidayatullah, apalagi yang dilakukan kala tengah malam selalu bangun Tahajjud.
Tetapi, kala beliau melewati masa itu dengan berusaha penuh percaya pada ajakan sahabat yang juga mentornya itu, Ustadz Abdul Manan tak kuasa membendung air matanya sendiri, betapa ajakan dan amalan dari sahabatnya itu, Ustadz Abdullah Said benar-benar terbukti.
Baca Lagi: Ustadz Hamzah Akbar: Inilah Momentum Generasi Muda Ekspresikan Jiwa Perjuangan
Maka, sampai akhir hayatnya, Ustadz Abdul Mannan selalu mengajak warga di kampus Hidayatullah Depok terus menerus menjalankan apa yang diajarkan oleh sahabat sekaligus gurunya sendiri, yakni Ustadz Abdullah Said.
Subhanallah, saya tertegun, saya menarik nafas panjang, demikian penting sahabat dalam kehidupan ini, lebih-lebih kala bicara tentang dakwah dan tarbiyah.
Terimakasih Ustadz Aqib Junaid, tulisan antum yang membawa saya pada “hadiah” indah dari Allah di hari ini. Luar biasa, persahabatan dalam perjuangan.*