Home Opini Ruang Gelap Pusat Literasi, Mesti Gimana?
Ruang Gelap Pusat Literasi, Mesti Gimana?

Ruang Gelap Pusat Literasi, Mesti Gimana?

by Imam Nawawi

“Ruangannya (perpustakaan) kosong, gelap, meski hari sudah siang,” itulah tulisan Kang Maman dalam makalah pada seminar literasi dengan tema “Jelajah Dunia Literasi” yang digelar oleh Perpustakaan DPR RI (10/7/24).

Fakta itu membuatku sedih sekaligus bertanya-tanya, mengapa perpustakaan yang penting dan jadi kebanggaan bangsa-bangsa yang maju justru terabaikan di negeri sendiri.

Tapi kesedihan itu ternyata belum seberapa. Kang Maman yang menyusuri ruang gelap akhirnya bertemu kepala perpustakaan yang lebih mengherankan lagi, pengakuannya.

Sosok kepala perpustakaan yang mestinya paling cinta buku dan literasi, ternyata mengatakan justru tidak memiliki minat sama sekali dengan perpustakaan, apalagi menjadi nahkodanya.

Tetapi itu bukan salah mutlak dari sang kepala perpustakaan. Karena ia hanya mematuhi keputusan yang membuatnya harus meninggalkan keahliannya di Satpol PP dan duduk sebagai kepala perpustakaan.

Tanpa harus saya eksplisitkan, kita sama-sama paham, perpustakaan bukan “menu utama” pembangunan. Walau kini narasi tentang literasi tengah berkibar dan menyala terang.

Perpustakaan mungkin dipandang sebagai tempat “persinggahan” orang yang tak lagi “produktif.” Sebuah sudut pandang yang tentu sangat ahistoris dan bertolak belakang dengan semangat konstitusi negara kita: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tak Resah

Jika orang mudah gelisah karena Hp-nya tertinggal, maka sekarang banyak orang tak lagi merasa resah karena tak ke perpustakaan. Begitu pula kalau tidak membaca buku dalam sehari, santai dan tak ada rasa bersalah. Itulah kenapa tak ada resah, tak ada gelisah.

Baca Juga: Apakah Organisasi Anda Sehat?

Dalam sejarah, kemajuan sebuah peradaban indikatornya jelas, makmur dan majunya perpustakaan.

Dan, yang menarik orang-orang kaya pada masa peradaban Islam berkibar, sangat senang uangnya dibelanjakan untuk buku. Akibatnya pengetahuan menjadi mainstream kehidupan masyarakat.

Nama Khalid ibnu Yazid bin Muawiyah (704 M) menjadi sosok pertama yang dikenal dalam sejarah Islam yang membangun perpustakaan pribadi. Hal itu terjadi pada masa pemerintahan dinasti Ummayah (661-750 M).

Masa itu adalah era empat sahabat mulia Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali ra) baru saja berlalu. Umat Islam telah ada yang sadar dan membuktikan dengan langkah nyata bahwa buku dan perpustakaan adalah penting.

Tidak heran jika kemudian nilai-nilai Islam menyebar dengan begitu cepat ke berbagai pelosok bumi, termasuk ke Andalusia, Eropa.

Berubah

Kini orang boleh tidak ke perpustakaan. Asal mau memiliki koleksi buku di dalam rumahnya.

Baca Lagi: Kumpul dan Berdiskusilah

Akan tetapi kalau kita mau bicara warisan kepada generasi, maka tidak ada alasan tak peduli terhadap perpustakaan. Apalagi kalau ingat narasi Indonesia Emas 2045.

Kapan perpustakaan akan jadi daya tarik anak-anak muda, yang belakangan kian akrab dengan gadget dan sebagian karena minim literasi terjerat pinjol (pinjaman online) dan judol (judi online)?

Tentu saja seiring dengan kesadaran pemimpin masa kini dalam memandang perpustakaan. Serahkan perpustakaan kepada orang yang cinta buku, terdidik dan terlatih mengelola dan mengembangkan ide melalui buku.

Dan, sudah waktunya kita melaksanakan pesan Nabi SAW yang singkat, bahwa jika sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah kehancuran. Jika literasi kita suarakan tapi perpustakaan semakin terperosok dalam kegelapan, maka?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment