Seperti biasa, kala matahari mulai menanjak sepanggalah, Puji tak bisa duduk berlama-lama di depan laptop tanpa musik penggugah semangat kebangsaan. Ia senang dengan lagu “Perahu Retak” yang Franky Sahilatua nyanyikan.
Bait, “Perahu negeriku perahu bangsaku. Jangan retak dindingmu,” sering ditirukan berulang-ulang. Bahkan ketika tidak sedang mendengar musiknya langsung.
Puji memang penggemar bacaan sejarah. Bukan saja riwayat Indonesia menuju kemerdekaan. Tetapi juga sejarah bagaimana bangsa besar tumbang.
Meski belum menikah, Puji paham betul, kepemimpinan yang tak bisa menumbuhkan pohon kepercayaan.
“Kepemimpinan yang rapuh, rentan dan ringkih, secepat kilat akan tumbang karena hembusan angin,” tulis Puji dalam draft status media sosial miliknya.
“Akar kepemimpinan yang ringkih, tak perlu menunggu kapan angin kencang datang. Ia cukup digoyang isu bernada sumbang. Biasanya seketika sudah tercerabut dari hati rakyat. Kepemimpinan yang begitu seperti tunas jagung yang indah nan hijau, tapi terpantau mata ayam liar, yang langsung melumatnya,” lanjut Puji merencanakan konten media sosialnya hari ini.
Retak di Dalam
Guna menguatkan argumentasinya, Puji mengambil beberapa buku. Tibalah mata Puji menatap buku terbitan Januari 2025, “Eropa di Masa Kegelapan”.
Puji seperti lebah menemukan bunga yang siap dibuahi, membaca dengan begitu antusias. Fokusnya luar biasa. Ia sampai lupa alunan musik favoritnya.
“Keretakan selalu datang dari internal masyarakat, bukan dari luar, dan hal itu terjadi ketika masyarakat merasa bahwa pesona yang berkilauan yang menghiasi para penguasa sudah tidak bisa menipu siapapun,” itu kutipan yang Puji anggap kuat dari sang penulis, DR. Ishaq Ubaid.
Tak puas dengan kutipan itu, Puji terus menjelajah kalimat demi kalimat pada setiap halaman. Ketika tuntas, Puji kembali menulis kesimpulan.
Baca Juga: Tanda Keruntuhan Suatu Bangsa
“Nilai moral dan etika yang seharusnya menjadi suluh, justru dibunuh. Akibatnya badai kegoncangan jiwa kian merajalela. Inilah sebab-sebab dari keretakan kepemimpinan, hingga meruntuhkan suatu bangsa, sebesar Romawi sekalipun,” tulisnya.
Memulihkan
Meski telah senang mendapat sebab dari kerusakan suatu bangsa, Puji belum merasa puas. Ia ingin memberikan solusi.
Tapi sebagai manusia yang tak terpantau publik. Karena memang Facebook, Instagram, Tiktok belum membuatnya viral seperti konten kreator pada umumnya, menjadikan dirinya seorang influencer baru, Puji sadar bahwa dirinya harus kembali membaca.
“Adakah pendapat tokoh kontemporer Indonesia yang bisa ia pinjam,” begitu ia berpikir.
Setelah berselancar di internet, membaca beberapa media massa online berbayar, Puji akhirnya tersenyum.
Ia mendapatkan tulisan Yudi Latif berjudul “Menavigasi Visi Prabowo” di Kompas.id.
“Usaha memulihkan kepercayaan juga tergantung pada kemampuan pemerintahan baru untuk merealisasikan janji menjadi bukti dengan menurunkan ideologi, visi, dan misi ke dalam strategi dan program. Pemimpin tak bisa terus-terusan menggelorakan narasi besar tanpa keteladanan, haluan, dan kesiapan tata kelola, karena setan itu menyelinap pada rincian detail implementasi.”
“Retak-retak yang merusak itu, akan bisa kita rekatkan jika pemimpin mampu memberi bukti, bukan menambah janji. Bangsa ini akan selamat kalau Presiden Prabowo, bisa menjadikan dirinya pemimpin teladan. Pemimpin yang benar-benar membuktikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan, itu butuh moral kapital. Suatu kekuatan yang ajaib dan ampuh menghilangkan retak-retak yang merusak,” demikian Puji mengakhiri tulisannya.*