Dalam kesunyian malam yang mendamaikan (23/3/24), saya menemukan diri terpikat oleh lembaran buku yang sarat makna, “Martabat Kata-Kata,” karya Ki Ju Lee.
Buku ini tipis, ringan dan menarik. Meski begitu buku itu dengan elegannya, membuka pintu ke sebuah pemahaman mendalam tentang bagaimana kita seharusnya menjalani hidup ini dengan kata-kata dan perbuatan kita.
Ungkapan yang paling menggugah jiwa saya malam itu adalah, “Kebijaksanaan hidup diperoleh dari kebiasaan mendengar. Penyesalan hidup diperoleh dari kebiasaan berbicara.”
Baca Juga: Pemimpin itu Mendengar, Bahkan Bertanya
Pada saat itu, saya menyadari bahwa di balik kesederhanaan kalimat tersebut, terkandung kebenaran yang mendalam tentang interaksi manusia dan bagaimana kita menimbang serta memilih kata-kata kita.
Banyak Mendengar
Renungan ini membawa saya pada pemikiran bahwa individu yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara cenderung memiliki bobot dan kedalaman dalam kata-katanya.
Mereka, seperti petani yang tekun mengairi sawahnya, mengisikan diri dengan pengetahuan, empati, dan pemahaman sebelum memilih untuk berbagi pikiran atau menawarkan saran.
Proses ‘pengairan’ ini memungkinkan mereka untuk tumbuh, berkembang, dan akhirnya, memberikan hasil yang berarti. Tidak hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi komunitas di sekitar mereka.
Sebaliknya, orang-orang yang terus-menerus berbicara tanpa memberikan ruang atau waktu untuk mendengarkan seringkali menemukan kata-kata mereka kehilangan nilai dan makna.
Seperti sawah yang kering karena keengganan untuk menerima air, percakapan mereka sering kali tidak memberikan nutrisi atau pertumbuhan. Ini adalah pengingat yang kuat tentang pentingnya mendengarkan dalam setiap aspek kehidupan kita.
Tidak perlu kita menoleh ke Senayan, bagaimana kata-kata di sana berhambur layaknya percikan api pandai besi. Karena semakin banyak kata, mereka semakin sedikit bekerja.
Komunikator
Artikel ini bertujuan tidak hanya untuk membagikan wawasan yang saya peroleh dari “Martabat Kata-Kata” tetapi juga untuk mendorong kita semua, sahabat pembaca, untuk merefleksikan bagaimana kita dapat menjadi komunikator yang lebih bijak dan penuh perhatian.
Baca Lagi: Jangan Lelah Melahirkan Pemimpin
Melalui praktik mendengarkan yang sengaja, kita dapat meningkatkan martabat kata-kata kita sendiri, memperkaya hubungan interpersonal, dan memajukan pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita.
Saat saya semobil dalam perjalanan Bekasi-Serpong bersama Kang Maman, saya berusaha mendengar dengan maksimal, hasilnya saya mendapatkan begitu dalam pemahaman tentang apa itu kebaikan, bagaimana berbicara dengan hati.
Karena kedalaman kata-kata Kang Maman bukan semata kekuatan literasi, tetapi juga kecakapan hati memahami apapun dengan sangat jernih.
Mari kita ambil momen ini untuk berkomitmen pada perbaikan diri. Kita mulai dengan menghargai kekuatan mendengarkan dan menilai kembali cara kita berkomunikasi dengan orang lain.
“Martabat Kata-Kata” oleh Ki Ju Lee, dengan satu ungkapannya saja, telah mengajarkan kita pelajaran yang berharga tentang kehidupan.
Kita perlu mulai mempertimbangkan ulang nilai mendengar sebagai pondasi untuk membangun kebijaksanaan, martabat, dan kekayaan rohani. Hal itu penting guna menuntun kita melalui kehidupan dengan lebih sedikit penyesalan dan lebih banyak pemahaman sebagai akar untuk kebermanfaatan.*