Home Artikel Renungan Mendalam yang Membawa Kebahagiaan
Renungan Tentang Kebahagiaan: Kebaikan Berbagi dan Ilmu Tentang Memberi

Renungan Mendalam yang Membawa Kebahagiaan

by Imam Nawawi

Rahasia kebahagiaan apakah masih sulit kita singkap? Memahami kebahagiaan dengan mendalam adalah sesuatu yang sangat penting bagi kita. Sayangnya, tidak semua orang tahu bahagia secara mendalam, termasuk bagaimana mencapai hidup bahagia.

Pertanyaan sederhana, “Bagaimana cara supaya saya bahagia?” sering kali muncul dalam perbincangan, namun jawabannya jarang dibahas secara mendalam.

Banyak orang berusaha mencari kebahagiaan lewat berbagai cara, tetapi kebahagiaan sering kali tidak ditemukan di tempat yang mereka kira.

Saat perjalanan bersama seorang junior dari Jakarta ke Depok, saya mendapatkan pertanyaan yang sama.

“Bagaimana supaya ke depan saya bisa bahagia?” ia bertanya.

Pertanyaan ini menggugah pemikiran bahwa bahagia bukan sekadar perasaan senang yang datang sesaat. Sebagai manusia dewasa, kita perlu memahami bahwa kebahagiaan sejati datang dari hal-hal yang lebih dalam, yang sering kali tidak sekolah tidak menerangkan. Sementara dalam kehidupan sehari-hari kita lebih banyak melakukan hal-hal yang berulang, rutin.

Kematangan Berpikir dan Makna Kebahagiaan

Saya pun berusaha menjawab dengan kemampuan yang ada. Saya katakan, kunci pertama dalam meraih kebahagiaan adalah kematangan berpikir.

Sebagai orang dewasa, kebahagiaan tidak lagi sama dengan kesenangan anak-anak yang murni berdasarkan pemenuhan keinginan. Bahagia dewasa lebih kompleks, karena berkaitan dengan pemahaman kita tentang dunia, diri sendiri, dan hubungan dengan orang lain.

Kebahagiaan bukan hanya soal mendapatkan, tetapi juga tentang memberi, peduli, dan berbagi. Pemikiran ini diperkuat oleh banyak penelitian ilmiah.

Menurut sebuah studi dari Harvard, memberi kepada orang lain, baik dalam bentuk waktu, energi, maupun materi, dapat meningkatkan kebahagiaan seseorang.

Dalam studi tersebut, peserta yang diminta untuk membelanjakan uang untuk orang lain melaporkan tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang menggunakannya untuk diri sendiri.

Keterlibatan dalam amal atau kegiatan sosial membuat orang merasa lebih terhubung dengan sesama dan membawa rasa makna dalam hidup mereka.

Berbagi sebagai Amal Mulia

Islam mengajarkan bahwa memberi adalah tindakan yang Allah sukai. Lihatlah alam, bagaimana matahari tak henti-hentinya memberi cahaya, rembulan memantulkan sinarnya, dan bintang-bintang menjadi petunjuk dalam kegelapan malam.

Alam memberi tanpa meminta imbalan, sebuah teladan yang bisa kita jadikan contoh. Hidup bukan hanya tentang mengejar kesenangan pribadi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa berbagi dengan orang lain.

Baca Juga: Nikmatilah Milik Kita, Itulah Kebahagiaan Nyata

Dalam perspektif agama dan moral, memberi bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga jalan menuju kebahagiaan.

Rasulullah SAW bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” Ini mengisyaratkan bahwa posisi orang yang memberi lebih mulia dibandingkan dengan orang yang meminta. Memberi dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balasan, membawa ketenangan batin dan kepuasan yang dalam.

Sebagai contoh, penelitian dari Carnegie Mellon University menunjukkan bahwa orang yang sering terlibat dalam kegiatan sosial atau membantu orang lain memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan hidup lebih lama. Ini bukan sekadar kata-kata indah, tetapi fakta ilmiah yang mendukung manfaat dari perbuatan memberi.

Kebahagiaan dan Keseimbangan Hidup

Kita juga mendapat pengajaran bahwa membantu orang lain adalah bentuk kematangan akal dan hati. Orang yang hanya mengejar kebahagiaan pribadi cenderung merasa kosong dan tidak puas.

Sebaliknya, mereka yang berfokus pada membantu orang lain akan merasakan kebahagiaan yang lebih langgeng. Ini adalah buah dari keseimbangan hidup, di mana kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga peduli pada orang lain di sekitar kita.

Allah SWT secara tegas melarang kita untuk hidup bermegah-megahan. Mengapa?

Karena kemewahan yang berlebihan sering kali membawa kerusakan moral dan ketidakseimbangan sosial.

Orang yang hanya melihat harta sebagai ukuran kesuksesan hidup sering terjebak dalam ilusi. Mereka mengejar kebahagiaan dalam bentuk materi, namun semakin banyak yang mereka miliki, semakin banyak yang mereka inginkan, dan akhirnya kebahagiaan itu menjadi sulit mereka dapatkan.

Menurut sebuah penelitian yang jurnal Psychological Science terbitkan, ketika seseorang fokus pada materi, mereka cenderung merasa kurang puas dan lebih sering merasa cemas.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa orang yang memiliki tujuan hidup yang lebih berarti, seperti membantu orang lain atau berkontribusi bagi kebaikan bersama, justru lebih bahagia daripada mereka yang hanya berfokus pada harta benda.

Berbagi dan Kebahagiaan Jangka Panjang

Salah satu prinsip dasar kebahagiaan adalah berbagi. Memberi kepada orang lain tidak hanya membawa kebahagiaan bagi penerimanya, tetapi juga bagi pemberinya.

Perasaan puas dan bahagia yang muncul dari berbagi jauh lebih mendalam dan bertahan lama daripada kebahagiaan yang didapat dari kepemilikan materi.

Lihatlah bagaimana Allah mengingatkan kita untuk peduli terhadap sesama, terutama kepada mereka yang membutuhkan.

Dalam Al-Quran, banyak ayat yang menekankan pentingnya berbagi dan membantu mereka yang berada dalam kesulitan. Salah satu contohnya adalah kewajiban membayar zakat dan sedekah. Ini bukan hanya kewajiban religius, tetapi juga mekanisme sosial untuk memastikan bahwa kebahagiaan tersebar merata di antara umat manusia.

Dalam sebuah buku yang berjudul The How of Happiness karya Sonja Lyubomirsky, dijelaskan bahwa salah satu cara paling efektif untuk meningkatkan kebahagiaan adalah dengan melibatkan diri dalam kegiatan berbagi.

Penelitian yang dilakukan Lyubomirsky menunjukkan bahwa berbagi waktu, uang, atau bantuan dengan orang lain dapat meningkatkan rasa kebahagiaan jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari apa yang kita miliki, tetapi dari apa yang kita berikan.

Menjauhi Ilusi Kemewahan

Salah satu hal yang sering menjebak banyak orang adalah pandangan bahwa kemewahan adalah puncak kebahagiaan. Padahal, kemewahan sering kali hanyalah ilusi yang menipu. Dalam banyak kasus, orang yang terus mengejar kekayaan dan kemewahan akhirnya merasa tidak puas karena kebahagiaan yang mereka kejar bersifat sementara.

Masyarakat modern sering kali terjebak dalam budaya konsumtif, di mana kebahagiaan diukur dari seberapa banyak kita memiliki. Namun, seperti yang dijelaskan oleh banyak psikolog, kebahagiaan yang sejati justru datang dari hubungan sosial, rasa syukur, dan pemberian, bukan dari tumpukan barang atau uang.

Seorang psikolog terkenal, Martin Seligman, dalam bukunya Authentic Happiness, menekankan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada pencapaian makna dan keterlibatan dalam kehidupan.

Ini berarti bahwa semakin kita terlibat dalam kegiatan yang bermakna, seperti membantu orang lain, semakin bahagia kita akan menjadi. Seligman menegaskan bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari kepemilikan materi hanya bersifat sementara, sementara kebahagiaan dari berbagi adalah kebahagiaan yang mendalam dan bertahan lama.

Kebahagiaan dalam Kebaikan

Jadi, jika kita ingin bahagia, maka jawabannya sederhana: berbagi.

Kebahagiaan tidak selalu tentang mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi tentang memberikan apa yang kita miliki. Ketika kita memberi dengan tulus, baik itu dalam bentuk materi, waktu, atau perhatian, kita sedang membangun jembatan kebahagiaan yang menghubungkan diri kita dengan orang lain.

Perhatikan seorang ibu yang menyusui, merawat dan mengasuh anak-anaknya. Apakah mereka stres? Atau mereka bahagia?

Nasihat kebahagiaan ini mungkin sederhana, tetapi sangat mendalam. Kita perlu mengingat bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa kita peroleh dengan egoisme. Sebaliknya, kebahagiaan adalah hasil dari memberi, peduli, dan berbuat kebaikan.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment