Kemarin (17/3), saat menunggu kedatangan Bunda Aisah, saya mengajak santri untuk tampil ke depan. Tanpa ragu, seorang santri bernama Hasan maju. Anaknya sempat grogi, tapi aura percaya dirinya begitu besar. Ia memilih tema yang menyentuh: pentingnya membaca Al-Qur’an.
Dengan suara lantang dan mata berbinar, Hasan mulai berbicara. Dan satu kalimatnya membuat ruangan terdiam sejenak, lalu tersadar. Kalimatnya sederhana namun menyentak kesadaran.
“Siapa rajin baca buku, tapi tak bisa baca Qur’an, maka dia… Rugi.”
“Siapa rajin olahraga, tapi tidak sempat baca Qur’an, maka dia… Rugi.”
“Siapa senang belajar, tapi dia tidak mau baca Qur’an, maka dia… Rugi.”
Setiap kata “Rugi” yang diucapkan Hasan seperti menggetarkan ruangan. Hampir semua hadirin hanyut, bahkan ada yang bergumam, “Iya, betul… Rugi.”
Saat itu, saya langsung teringat pesan Bunda Aisah: “Siapa yang punya kelebihan, tapi dia tidak infaq, maka dia… Rugi.”
Astaghfirullah. Betapa banyak kerugian yang sering kita abaikan dalam hidup ini.
Kita sibuk dengan segudang aktivitas, tapi melupakan yang paling utama. Kita berlomba-lomba mengejar dunia, namun lupa bahwa akhirat adalah tujuan sejati.
Mengapa Kita Sering Merugi?
Mari kita renungkan. Berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk hal-hal duniawi, namun melalaikan kewajiban spiritual?
Kita bangga karena sudah banyak membaca buku, tapi jarang menyentuh kitab suci. Sebagian kita merasa sehat karena rajin olahraga, tapi lalai dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Bahkan dari kita tekun belajar ilmu pengetahuan, tapi lupa bahwa ilmu hakiki adalah yang membawa kita pada ketakwaan.
Inilah kerugian yang sesungguhnya. Kerugian bukan hanya soal materi, tetapi juga tentang waktu, potensi, dan kesempatan yang terbuang tanpa makna. Apalagi Al-Qur’an itu adalah petunjuk, rahmat dan obat bagi jiwa.
Pesan dari Momen Ini
Alhamdulillah, momen kemarin menjadi pengingat bagi kami semua. Bahwa membaca Qur’an adalah kunci. Ia adalah cahaya yang menerangi hati, obat yang menyejukkan jiwa, dan pedoman yang membimbing langkah. Tidak ada alasan untuk menunda-nunda apalagi meninggalkannya.
Begitu pula dengan berinfaq. Harta yang kita miliki adalah titipan Allah. Jika kita enggan berbagi, maka kita telah membatasi diri dari limpahan rahmat-Nya.
Infaq adalah wujud syukur, cara kita mengembalikan sebagian nikmat Allah kepada-Nya dengan membahagiakan sesama.
Jadi, jangan biarkan kerugian itu terus menghantui. Mari kita ubah pola pikir kita. Jadikan Al-Qur’an sebagai sahabat setia, dan berinfak sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Hidup ini terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa keduanya.
Semoga Allah membuka pintu hati kita, memberikan kekuatan untuk memperbaiki diri, dan menjadikan kita manusia yang selalu ingat akan tujuan hidup yang hakiki. Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab.*