Home Kajian Utama Rasio yang Melemahkan Api Optimisme
Rasio yang melemahkan api optimisme

Rasio yang Melemahkan Api Optimisme

by Imam Nawawi

Ketika seorang ibu melahirkan bayi, sang bayi tidak mengetahui apapun. Ia lemah, tidak berdaya, bahkan sangat rawan dari bahaya. Namun, karena Allah memberikan sifat rahman dan rahim-Nya, anak manusia itu bisa tumbuh dalam pengawasan-Nya. Seiring berjalannya waktu, manusia tahu bahwa dirinya memiliki rasio. Tetapi, mengapa semakin kuat rasio manusia bekerja, manusia semakin lemah iman kepada-Nya.

Manusia menjadi sangat percaya kepada rasio. Akibatnya mereka melihat hukum kausalitas dalam dunia ini bersifat mutlak. Padahal, kausalitas hanyalah bagian dari satu ketetapan Tuhan yang begitu banyak dan luas.

Sebagai contoh, orang modern berpikir bahwa uang adalah sumber kebahagiaan. Siapa yang banyak memiliki uang, ia akan semakin bahagia. Tetapi faktanya tidak demikian.

Baca Juga: Dakwah Sesuai Perkembangan Digital

Hal ini karena dalam hukum kehidupan dunia, seseorang memegang uang bukan sebatas tentang ia memperoleh berapa. Tetapi bagaimana cara ia memperolehnya.

Ketika cara mendapatkan uang itu dengan menghalalkan yang haram, melegalkan yang ilegal. Atau membenarkan kejahatan, maka cepat atau lambat, pemilik uang yang seperti itu, betapapun banyak sekali uangnya, ia akan terkena hukuman, cepat atau lambat.

Jadi, manusia yang terlalu percaya kepada kerja rasio, lalu mengabaikan aspek ruhani, jiwa, dan batin, akhirnya akan tenggelam dalam penyesalan karena menuhankan rasio, yang benar-benar, sangat terbatas.

Berpikir Kontemplatif

Manusia memang Allah berikan anugerah akal untuk berpikir. Dan, satu tingkatan berpikir yang manusia sangat membutuhkan ialah berpikir kontemplatif.

Ini adalah kemampuan berpikir yang memiliki tujuan mempertajam kepekaan diri, ketajaman batin serta kemampuan mengenal kekuatan dan kelamahan diri.

Puncaknya, orang yang berpikir secara kontemplatif akan sadar kekuatan dan kelemahan diri, sehingga ia selalu butuh kepada Tuhan.

Langkah itulah yang para filsuf lakukan dalam melihat realitas kehidupan dunia ini.

Lebih jauh, berpikir kontemplatif dengan basis spiritual juga menjadi tradisi para ulama terdahulu, sehingga begitu mereka mengeluarkan sebuah karya, relatif karyanya menjadi fenomenal dan monumental.

Pendek kata, orang yang mau berpikir kontemplatif ia tidak sebatas hidup dengan timbangan rasio, terlebih rasio yang mati karena kuatnya hawa nafsu. Akan tetapi juga hati, iman dan takwa kepada Allah.

Konsistensi

Satu hal yang begitu menantang daya nalar dan kekuatan hati dalam berpikir adalah mengapa konsistensi menjadi syarat kemenangan, kebahagiaan dan keberhasilan.

Tidak lain karena Allah telah menetapkan satu hukum, bahwa siapapun yang Allah hadirkan dalam kehidupan dunia ini, ia harus melalui hukum proses dan pertumbuhan.

Baca Lagi: Raih Bahagia dalam Dakwah

Lebih jauh, konsistensi matahari, bulan, siang dan malam mewarnai kehidupan dunia adalah bukti bahwa manusia akan bertemu dua keadaan, siang dan malam, panas dan dingin. Siapa konsisten, ia akan tumbuh dan akan berpengaruh.

Jadi, silakan mencari harta, tapi jangan berpikir bahwa dengan korupsi, hidup akan bahagia. Itu melawan hukum Tuhan, bahkan melawan Tuhan itu sendiri.

Ayo, miliki kedudukan tinggi, tapi jangan mengganggap bahwa menipu adalah cara terbaik. Sebab bisa jadi orang percaya, tetapi Tuhan sudah mencatat sedari dalam hati, bahwa niat menipu itu akan mendatangkan duka yang pahit dan memilukan.

Pesan Tuhan satu, bahwa siapa berbuat kebaikan (karena iman) maka Allah akan berikan balasan kebaikan pula.

“Itu sudah pasti. Lakukanlah dialog-dialog semacam itu terhadap diri sendiri agar tidak mudah lemah dalam perjuangan dan pengorbanan dakwah dan peradaban,” pesan dari Ustadz Hamzah Akbar, yang menginspirasi saya menuliskan ulasan ini bersamaan dengan hujan yang mengguyur Kota Jakarta (8/11/22).*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment