Malam yang gelap menyelimuti bumi, namun jiwa-jiwa haus cahaya mulai bergerak mencari pencerahan. Mereka memahami bahwa pada malam hari, ada momen penting untuk bangun, tegak, qiyam. Atas dasar itulah, ketika Ramadhan hadir, itu sejatinya bukan sekadar bulan ibadah. Akan tetapi “pesta” jiwa. Peluang bagi kita memaksimalkan eksistensi jiwa. Mengantarkan manusia kembali kepada fitrahnya.
Di tengah hiruk-pikuk dunia, ambisi, dan kepenatan hidup, Ramadhan mengetuk pintu hati. Ayo saatnya mensucikan jiwa. Begitu Ramadhan memanggil.
Ia mengajak manusia merenung tentang sejauh mana mereka merawat jiwanya. Seperti HP, apakah wifi dan selulernya masih berfungsi dengan baik, sehingga bisa terhubung satu sama lain. Mudah menerima dan mengirim pesan, sehingga satu sama lain bisa saling menjaga.
Tidak ada ajaran lain yang begitu sempurna memperhatikan jiwa selain Islam.
Denting sahur yang syahdu, sujud yang mendalam, dan desiran doa yang lirih menjadi saksi bahwa Islam bukan sekadar agama. Ia adalah jalan hidup yang membentuk hati dan pikiran.
Alquran, semakin kita baca, kian menjadikan jiwa sehat, pikiran segar dan cita-cita mengangkasa.
Islam tidak hanya mengajarkan kebenaran, tetapi juga membersihkan jiwa, mendorong raga ini tetap dalam kebaikan.
Pencerahan Batin
Mari renungkan, adakah ajaran lain yang begitu mengakar dalam membersihkan batin?
Ramadhan tidak hanya mengajarkan menahan lapar dan dahaga. Ia melatih hati untuk tunduk sepenuhnya kepada-Nya dengan penuh syukur.
Seperti seorang hamba yang menemukan kedamaian dalam sujudnya, atau seorang pencari yang akhirnya sampai di sumber air setelah berjalan jauh di padang pasir.
Nikmatnya ibadah bukan karena kebiasaan, melainkan karena ketundukan. Setiap rakaat, setiap tilawah, dan setiap doa adalah bentuk kepasrahan total kepada-Nya. Yang menjadikan baterai keyakinan tetap terisi 100%.
Puasa Bukan Sebatas Syariat
Puasa bukan sekadar syariat. Ia adalah jendela untuk memahami perjuangan.
Bayangkan lapar yang dirasakan para mujahid di jalan Allah. Mereka berjalan berhari-hari, menghadapi kelelahan, dingin malam, dan terik siang dengan keyakinan yang tak pernah padam.
Bayangkan pelajar zaman dahulu yang menempuh perjalanan panjang, melintasi gurun, dan mengarungi lautan ilmu dengan tekad yang tak tergoyahkan.
Lapar yang kita rasakan hanyalah sekejap, namun ia membuka pintu untuk merasakan kepayahan mereka dan menyerap keteguhan hati mereka.
Respon Terhadap Panggilan Ramadhan
Kedalaman dalam merespon Ramadhan adalah kunci.
Jangan biarkan Ramadhan berlalu sebagai serangkaian ritual tanpa ruh. Jangan biarkan ia menjadi agenda tahunan tanpa makna.
Gunakan hati untuk memahami ilmu, bukan sekadar kognisi yang kering. Jadikan amal nyata dan akhlak bercahaya sebagai bukti kesadaran batin.
Sebab, Ramadhan bukan hanya tentang menahan diri. Ia adalah tentang menemukan kembali diri.
Dalam lapar dan haus, manusia belajar arti kecukupan. Ketika dalam sujud panjang, mereka menemukan ketenangan. Bahkan dalam memberi dan berbagi, mereka meresapi hakikat keberkahan.
Maka, sambutlah Ramadhan dengan hati yang bersih. Jadikan ia pesta jiwa yang sebenar-benarnya. Bukan pesta kesenangan duniawi, melainkan pesta ruhani yang mengangkat manusia lebih dekat kepada-Nya, lebih ingin bermanfaat bagi sesamanya.*