Home Artikel Ramadhan Kaji Peradaban
Ramadhan kaji peradaban

Ramadhan Kaji Peradaban

by Imam Nawawi

Ahad, 9 April 2023 saya kembali mendapat amanah memandu diskusi Ramadhan yang mengkaji peradaban dengan penutur Ustadz Suharsono.

Acara yang berlangsung di Masjid Ummul Quro itu berjalan tepat 60 menit, 50 detik. Efektif.

Yang saya tidak terka, penulis buku “Membangun Peradaban Islam, Menata Indonesia dengan Alquran” itu bertolak dari satu kisah yang sehari sebelumnya saya sampaikan dalam khutbah Jumat.

Baca Juga: Islam sebagai Peradaban

Kisah itu adalah perihal dialog Umar dan Abu Sufyan ketika penaklukkan terjadi begitu luas.

Abu Sufyan mengatakan bahwa keberjayaan itu adalah yang terbaik dalam sejarah dan kepemimpinan.

Namun, Umar segera menyanggah. Bahwa kalau persepsi itu benar, maka sudah pasti kebaikan yang baru saja mereka terima, akan Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Spiritualitas

Kisah itu merancangkan bahwa tegaknya peradaban Islam hanya mungkin ketika pemimpin mengerti mana yang harus jadi prioritas antara spiritualitas dengan materi. Tentu saja, spiritualitas.

Bagi Umar bin Khattab, capaian materi, sebesar apapun, tidak akan mendongkrak posisinya lebih mulia dari Rasulullah SAW.

Itulah mengapa Umar, menyanggah pikiran yang mengatakan dirinya adalah pemimpin terbaik, hanya karena mampu memumpun ghanimah yang melimpah.

Dan, seperti kita tahu, Umar selalu berupaya menjaga diri dengan sangat cermat dan ketat. Jangan sampai dirinya terbius oleh berbagai kemenangan yang Allah berikan.

Itulah mengapa Umar sampai memilih tidur di tanah terbuka di bawah pohon dengan hanya beralaskan pelepah daun kurma.

Sebuah tindakan yang ketika Utusan Romawi melihat langsung Umar melakukan itu, kontan sang utusan menggelengkan kepala, tanda kagum luar biasa.

Sebab pada peradaban Romawi, pemimpin sekelas kaisar tidak akan pernah meletakkan pipinya di atas tanah. Tetapi Umar, pemimpin besar itu justru setiap hari menjalankannya.

Berpikir Global

Lebih lanjut, ayah dari 12 anak itu menguraikan tentang dasar peradaban Islam, yaitu tauhid. Kemudian hadir pilar yakni antusiasme berpikir.

Orang Islam seharusnya mampu berpikir dengan mengikuti cara ulama dan saintis Muslim terdahulu membangun metode penalaran.

Baca Lagi: Hadirkan Kecerdasan Ekstra

Sebab, ketika Islam maju dan jaya, terutama ketika mercusuar ilmu mewarnai Baghdad dan Andalusia, Eropa itu masih gelap.

Artinya, orang Islam punya paduan sejarah, bahwa siapa yang sungguh-sungguh membaca Alquran, kemudian mengikutinya dengan keseriusan berpikir, pasti bisa menjadi ahli ilmu.

Sebab Alquran memang wahyu, mukjizat dan sejarahnya demikian.

Coba bayangkan ketika Islam jaya kala itu, ulama-ulama merujuk kemana, ke Barat? Barat belum ada.

Pendek kata, peradaban Islam menuntut kita semua kembali pada energi wahyu itu, membaca dan berpikir serius.

Dan, kata Ustadz Suharsono, rugi kalau kita tidak berpikir global (secara serius). Sebab hidup dengan pikiran besar atau pikiran kecil, perut kita tetap butuh makan 1 piring.

Sama-sama makan 1 piring, mendingan kita berpikir global. “Daripada berpikir ecek-ecek,” pesannya tegas.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment