Home Kisah Ramadan: Saat Jiwa yang Lelah Menemukan Jalan Menang
Ramadan

Ramadan: Saat Jiwa yang Lelah Menemukan Jalan Menang

by Imam Nawawi

Suara lembut Syaikh Ahmad Daud Ibrahim dari Palestina menggema di Masjid Ummul Qura, Pesantren Hidayatullah Depok. Subuh itu, BMH menggelar program “Siraman Manis”, mengajak jamaah untuk merenungkan makna Ramadan melalui nasihat sang Syaikh yang penuh kedamaian.

Meski tak membaca Alquran secara langsung. Tetapi pesan-pesan Syaikh Ahmad tentang keagungan kitab suci dan urgensi kebaikan mampu menyentuh hati ratusan jamaah yang hadir.

Dengan nada bicara yang teduh dan kalimat memotivasi, Syaikh Ahmad mengajak umat untuk memperdalam interaksi dengan Alquran.

“Ramadan adalah momentum untuk membersihkan hati dan memperkuat hubungan dengan wahyu Allah,” ujarnya.

Meski berbahasa Arab, pesannya mudah dicerna: *Ramadan bukan sekadar menahan lapar, tapi merengkuh kesadaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik*.

Ramadan Bulan Kepedulian

Saat itu, saya teringat kata seorang teman: “Ketika kita peduli, kita menyatu dengan ritme kehidupan yang lebih besar.” Bagiku, Palestina adalah gelombang besar kehidupan dunia abad ini.

Pesan ini seolah menggema kembali saat Syaikh Ahmad menekankan bahwa keindahan Ramadan terletak pada kebaikan yang universal.

Seperti kata Aristoteles, kebajikan adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Kebaikan, dalam arti terdalam, adalah cermin kemanusiaan yang mampu melampaui ego—seperti gelombang perjuangan Palestina yang mengajarkan keteguhan dan solidaritas, ketabahan dan optimisme.

Bangunkan Jiwa

Ramadan hadir untuk membangunkan jiwa yang kelelahan, terpenjara rutinitas duniawi.

Di sini, keindahan sejati bukan pada ritual fisik semata, tapi pada kesadaran untuk tunduk kepada Allah sambil mengulurkan tangan bagi sesama.

Seperti kata Al-Ghazali, “Hati yang penuh kasih adalah cermin cahaya Tuhan.” Setiap kebaikan kecil—sedekah, senyum, atau kata lembut—adalah percikan cahaya itu.

Allah SWT membuka pintu surga, menutup pintu neraka, dan membelenggu setan di bulan ini.

Artinya, momentum ini adalah kesempatan untuk merdeka: bebas dari keangkuhan, bebas dari keputusasaan, dan bebas untuk menciptakan diri yang lebih baik. Ini kesempatan meningkatkan kepemimpinan diri.

Ramadan mengajarkan kita untuk tidak sekadar “hidup”, tetapi menyadari hidup—bahwa setiap nafas adalah kesempatan memperbaiki hubungan dengan-Nya dan sesama.

Jamaah yang hadir Subuh itu, termasuk saya, seperti diajak untuk berhenti sejenak. Berhenti dari hiruk-pikuk dunia, lalu bertanya: “Sudahkah Ramadan kali ini membawa kita pada kebersihan hati dan kepedulian yang lebih dalam?”

Sebab, keindahan Islam tidak hanya terpancar dari ritual, tetapi dari hati yang lapang untuk berbagi, jiwa yang siap mendengar, dan tangan yang terbuka untuk menolong.

Setelah Syaikh turun dan saya mencium tangannya. Bacaan dzikir pagi di masjid itu membawa hati ini pada kesadaran mendalam, bahwa Allah begitu dekat dengan kuasa-Nya yang MAHA INDAH.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment