Home Kajian Utama Ramadan, Jangan Jadi Manusia yang Hilang
Hilang

Ramadan, Jangan Jadi Manusia yang Hilang

by Imam Nawawi

Pagi (4/3) yang masih menyisakan hujan sepanjang malam, saya, Ust. Aziz QM, Bang Arfan, dan teman-teman duduk dalam Halaqoh Diniyah di Masjid Ummul Qura, Pesantren Hidayatullah Depok. Kami duduk melingkar membaca surah Ar-Ra’d ayat ke-17. Satu kata kuncinya adalah jangan jadi hal yang hilang.

“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.”

Jangan Seperti Buih yang Hilang

Ayat itu memberikan penjelasan tegas mengenai beberapa hal.

Pertama, Allah menurunkan air hujan dari langit yang mengalir di lembah sesuai ukurannya.

Kedua, ayat itu menerangkan keadaan arus air membawa buih yang mengambang sebagai bagian dari proses alami.

Ketiga, ayat itu juga mengajak kita memerhatikan logam yang dilebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat juga menghasilkan buih, mirip dengan buih pada arus air.

Keempat, Allah membuat perumpamaan antara kebenaran dan kebatilan melalui fenomena ini.

Kelima, buih akan hilang dan tidak memiliki nilai, melambangkan sesuatu yang sementara dan tak berguna.

Keenam, bagian yang bermanfaat bagi manusia akan tetap ada, melambangkan kebenaran yang kekal dan bernilai.

Ketujuh, perumpamaan ini menggambarkan kekuasaan dan kebijaksanaan Allah dalam menciptakan keseimbangan.

Fokus ke Buih

Buih, dalam konteks ini, adalah simbol dari hal-hal yang tampak menarik atau mengesankan di permukaan, tetapi tidak memiliki substansi atau kedalaman.

Ia muncul sesaat, mengapung di atas air atau logam yang dilebur, namun cepat hilang tanpa meninggalkan jejak atau manfaat.

Fenomena ini mengandung makna filosofis yang mendalam tentang sifat kefanaan dan ketidakabadian hal-hal yang bersifat semu.

Selain itu, buih menunjukkan akan hal yang tidak kokoh. Begitu pun kebatilan dalam hidup ini. Buih terbentuk dari udara yang terperangkap dalam cairan atau proses peleburan.

Strukturnya rapuh dan bergantung sepenuhnya pada medium tempat ia berada. Ketika medium itu berubah—seperti air yang mengalir atau logam yang mendingin—buih pun lenyap. Ini menggambarkan bahwa segala sesuatu yang hanya bertumpu pada hal-hal sementara atau dangkal tidak akan bertahan lama.

Kemudian, buih tidak memiliki substansi yang nyata. Meskipun buih tampak indah di permukaan, ia tidak memiliki bobot atau nilai intrinsik. Dalam kehidupan manusia, ini bisa melambangkan kesenangan duniawi, kemewahan semu, atau pencitraan kosong yang tidak memberikan manfaat jangka panjang. Ketika ujian waktu datang, semua itu akan sirna tanpa bekas.

Buih juga bisa jadi simbol dari kebohongan dan kesemuan. Buih yang hilang tanpa nilai menggambarkan kebatilan—segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.

Kebatilan sering kali hadir dengan gemerlap yang menipu, bahasanya bombastis tapi tak terbukti, seperti godaan duniawi, ambisi palsu, atau nafsu sesaat. Namun, pada akhirnya, semua itu tidak memiliki arti dan akan lenyap begitu saja.

Kembali Pada Kebenaran

Oleh karena itu jadilah insan yang bermanfaat. Jangan jadi buih. Tapi jadilah air. Air yang mengalir atau logam yang dilebur memiliki manfaat nyata bagi manusia.

Air memberi kehidupan, dan logam menjadi alat atau perhiasan yang berguna. Ini mengajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang memiliki substansi, memberikan manfaat, dan bertahan lama.

Manusia diajak untuk membedakan antara yang hakiki (kebenaran) dan yang semu (kebathilan), serta memprioritaskan yang pertama.

Kalau kita renungkan, dalam hidup, banyak orang terjebak pada hal-hal yang bersifat “buih”—kesenangan sesaat, popularitas semu, atau harta yang tidak membawa kebaikan.

Semua itu akan lenyap seperti buih, meninggalkan kehampaan.

Jadi, manusia harus berusaha mengejar hal-hal yang hakiki, seperti ilmu yang bermanfaat, amal kebaikan, dan hubungan yang mendekatkan diri kepada Allah.

Semoga Allah memberikan kita kekuatan, dapat menjadi manusia yang terus memberi manfaat meski telah tiada. Jangan menjadi orang yang telah hilang meski masih hidup di bumi ini. Sibuk kesana dan kemari, tapi sudah tak punya arti lagi.*

Mas Imam Nawawi

 

Related Posts

Leave a Comment