Saat puasa Ramadan Allah hadirkan agar manusia bisa menggapai takwa, sebagian orang lupa akan esensi itu. Mereka bukan memacu diri melakukan kebaikan. Sebagian ada yang malah menjadi benalu. Mengganggu dan menyedot “darah” orang lain tanpa ada rasa bersalah.
Bukannya mentalitas berbagi, peduli dan memberi semakin terpatri. Justru melihat milik orang lain laksana daging lezat. Tak peduli cara, intinya bagaimana dapat merasakan nikmat. Pemaksaan pun terjadi. Bahkan mereka tak lagi peduli, ini Ramadan.
Saya teringat ungkapan seseorang dalam podcast, bahwa sekarang manusia mulai banyak yang bergeser. Bergeser keyakinannya, dari percaya Tuhan menjadi yakin kepada materi, hingga berperilaku hidup hedonisme.
Kembali ke Ramadan dengan Berpikir
Fenomena itu menarik kita jadikan bahan merenung, berpikir kembali secara lebih mendalam. Terlebih Alquran memang mengingatkan kita agar selalu berpikir. Bukan sekali dua kali, tapi berulang kali.
Mau tidak mau, kita mesti mau untuk lebih terbuka. Terus mau belajar, mendengarkan, dan membuat keputusan yang bijak.
Ramadan itu bulan berbagi. Saat tepat kita mengurangi ego dan emosi, sehingga meningkatkan hubungan sosial dan pertumbuhan pribadi secara sosial dan spiritual.
Saking pentingnya berpikir, Dan Cathy pernah ngobrol dengan John C. Maxwell dalam buku “Bagaimana Orang Sukses Berpikir”.
Temanya adalah tentang “jadwal berpikir”.
Cara itu dapat menguatkan seseorang bisa melawan kesibukan palsu dengan tetap mampu berpikir secara sengaja. Berpikir dengan cara yang lebih jernih. Langkah itu akan memudahkan kita tahu mana yang prioritas dan tidak mudah terdistraksi
Obrolan dua orang itu mungkin tidak ada hubungannya dengan Ramadan. Akan tetapi diksi “Jadwal Berpikir” itu mesti kita miliki. Terutama pada era Ramadan yang tidak lama lagi akan berakhir.
Lebih jauh ungkapan jadwal berpikir menuntut diri sendiri untuk disiplin berpikir. Ibadah kita sudah lakukan, menjadi bagian jadwal harian. Tetapi berpikir, apalagi berpikir besar untuk banyak orang, sudahkah juga kita menjalankannya?
Beri dan Beri
Indonesia selalu tampil sebagai negeri paling dermawan. Tetapi kita pasti tahu, akan ada saja orang yang tidak mau berderma. Mungkin ada faktor pribadi. Namun, sudahkah kita memahami bagaimana faktor sosial membentuk perilaku bakhil?
Terlepas dari apapun, sebagai pribadi yang berpuasa, kita perlu latihan memberi. Tidak bisa banyak bukan masalah. Prinsipnya ada komitmen berlatih memberi dan memberi.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik sedekah adalah sedekah di bulan Ramadan.” (HR. Tirmidzi).
Kemudian, Nabi Muhammad SAW juga bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi).
Sekarang, kalau memang berpikir itu sulit. Cerna saja perlahan-lahan, apakah kita ada yang bebas dari dosa. Kalau jawabannya kita tidak bebas, maka sedekah itu kebutuhan diri kita sendiri.
Idealnya memang orang kaya itu bersedekah sebelum ada orang miskin yang datang meminta. Tapi, sekalipun orang miskin boleh meminta, memaksa itu jangan.
Puncaknya semua ini adalah fenomena sosial, yang satu sama lain harus sama-sama kita benahi. Tanpa itu, maka masing-masing “kelas” akan merasa berhak melakukan apa yang sebenarnya, kala mereka pikirkan ulang, tidak penting untuk dijalankan.*