Rakyat yang tercekik menjadi judul bahasan kali ini karena fakta tentang kondisi buruh yang benar-benar sulit.
Bisa kita bayangkan, selama pandemi Covid-19 kaum buruh menurun daya belinya. Kemudian baru lepas pandemi, pemerintah menaikkan harga BBM.
Terang saja itu kian menyulitkan rakyat kebanyakan, terutama kaum buruh. Mengapa?
Pertama, biaya kebutuhan makan meningkat. Biaya transportasi juga meningkat. Dan, harga sewa rumah juga demikian, mengalami kenaikan.
Sementara gaji buruh tidak ada kenaikan. Lalu kemana buruh akan meningkatkan daya belinya? Tidak ada jalan lain, gaji buruh harus juga dinaikkan. Kaum buruh meminta agar kenaikan gaji minimal 13% agar dapat hidup tidak dalam kesulitan.
Kisah Buruh
Nining Indriyani, perempuan berusia 27 tahun yang datang bersama rombongan pekerja dari Subang (30/11/21). Dia sudah bekerja di pabrik sepatu impor Nike PT. Taekwang Industrial Indonesia sejak tahun 2019. Ketika itu informasi lowongan pekerjaan dia peroleh dari seorang kerabat.
“Semoga apa yang kita tuntut bisa didengar pemerintah. Kita rakyat itu susah. Kita kehujanan sampai sakit. Gak mungkin mau kayak gini kalau kita ga kekurangan,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id.
Dalam perbincangan saya dengan Ustadz Suharsono buruh dalam dilema. Tidak bersuara mereka akan dianggap tidak perlu diperhatikan. Bersuara pun belum ada jaminan. Terlebih kalau penyampaian aspirasi melalui aksi demonstrasi. Pemerintah biasanya mangkir atau pindah kantor.
Solusi
Pemerintah, melalui Menaker sebenarnya mulai bergerak, tetapi baru akan diskusi.
Tetapi itu sudah lebih baik. Walaupun idealnya, sebelum kebijakan menaikkan harga BBM, perlindungan terhadap buruh telah tuntas pemerintah siapkan.
Sekarang kita berharap pemerintah segera melakukan tindakan. Jangan sampai buruh hdiup semakin sulit dan tidak berdaya.
Pada akhirnya itu akan mencoreng kinerja pemerintah sendiri kalau sampai banyak orang Indonesia lemah ekonomi dan terus semakin lemah.
Lebih jauh itu akan menghambat pendidikan anak-anak buruh, sehingga terancam putus sekolah.
Puncaknya ke depan bonus demografi yang sering kita harapkan, ternyata tidak bisa kita andalkan, karena rakyat sulit untuk menjangkau sandang, pangan dan papan. Siapa yang paling bisa mengatasi masalah ini?*