Jika benar, pendidikan akan kena pajak, maka bangsa ini benar-benar akan berhadapan pada satu resiko besar, yakni tersendatnya pembangunan manusia yang berkelanjutan. Problem pembangunan manusia tak terhindarkan.
Selama pandemi ini, KPAI melaporkan bahwa angka putus sekolah sangat tinggi. Dan, itu berasal dari keluarga miskin. Demikian seperti Retno Listyarti paparkan dalam Kompas
Lebih jauh ia menjelaskan ada lima penyebab mengapa anak putus sekolah. Mulai dari karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia.
Baca Juga: Bahagia dan Membahagiakan
Alasan karena bekerja dan menunggak iuran SPP cukup jadi satu bukti bahwa problem ekonomi begitu serius terjadi dalam kehidupanmasyarakat. Dan, itu berlangsung selama pandemi alias sebelum kebijakan pajak pendidikan berlaku.
Bagaimana kira-kira jika kebijakan pajak pendidikan ini jadi kebijakan?
Berapa banyak masyarakat kian tertutup menyekolahkan anak-anaknya karena alasan ekonomi?
Dan, 10 tahun mendatang, hingga 50 tahun ke depan, akan seperti apa wajah rakyat Indonesia, jika sebagian besar rakyatnya tidak dapat menyekolahkan putra-putrinya?
Problem Kemunduran

Sudah jelas rencana pajak untuk pendidikan menuai penolakan. Termasuk dari Anggota Komisi X DPR RI Prof Zainuddin Maliki.
“Langkah tersebut dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
“Pemerintah diperintah oleh undang-undang Dasar 1945 untuk membiayai khususnya pendidikan dasar, bukan justru memungut pajak pendidikan dari rakyat,” tegas Prof Zainuddin Maliki, seperti kabar dari jpnn.com.
Terlepas dari beragam argumen yang menolak, analisis yang mesti kita hadirkan adalah mengapa ide menjadikan pendidikan sebagai objek pajak baru dapat terpikirkan bahkan terencana sedemikian rupa?
Apakah benar karena kondisi kas negara yang betul-betul darurat, kosong atau tidak tertolong?
Andai kata benar demikian, mampukah pajak pendidikan menutup kebutuhan semua sisi? Apakah tidak sewajarnya pajak yang memburu kelompok masyarakat kaya?
Kalau pun benar, sudah sangat mendesak. Apakah opsi mengajak pejabat negara merelakan sebagian tunjangan yang mereka miliki dipotong untuk negara mungkin jadi pilihan? Langkah itu lebih utama daripada memeras rakyat yang memang sudah terjepit.
Pikiran seperti apa yang sedang melilit akal pemegang kebijakan? Hingga begitu tega menjadikan pendidikan sebagai objek pajak?
Kepanikan
Jadi, dengan apa yang sedang terjadi dan mengundang respon banyak pihak yang umumnya menolak, bisa kita katakan, pikiran dari pemegang kebijakan sedang mengalami kepanikan.
Panik karena kas negara merosot, panik karena penerimaan dari sektor pajak menurun. Panik karena begitu besarnya tuntutan keuangan pemerintahan yang sejauh ini pada banyak sektor tergerus oleh perilaku koruptif.
Jika benar dugaan bahwa pemerintah dalam keadaan panik, maka bisa kita lihat ke depan pembangunan negara akan mengalami hambatan dan gangguan.
Baca Juga: Era Peradaban Baru
Akan semakin memburuk jika benar nantinya, pajak terhadap pendidikan jadi kenyataan, termasuk untuk sembako.
Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melakukan langkah konsolidasi yang dalam mengatasi persoalan ekonomi negara ini benar-benar berpijak dari cara berpikir yang benar, konstitusional dan mengutamakan keselamatan rakyat.
Apabila memang belum mampu, rangkullah para tokoh, ahli, dan pengusaha. Utamanya yang memiliki rasa peduli dan cinta kepada negeri ini. Insha Allah dengan langkah yang progresif dan penuh tanggungjawab, krisis ini dapat kita atasi bersama. Allahu a’lam.
Mas Imam Nawawi_Ketua Umum Pemuda Hidayatullah