Home Artikel Problem Besar Pasca Pendidikan Tinggi
Problem Besar Pasca Pendidikan Tinggi

Problem Besar Pasca Pendidikan Tinggi

by Mas Imam

Kemarin (16/1) menjelang dzuhur seorang teman menghubungi saya. Melalui pesan singkat ia mengatakan, “Mohon kesediaan pukul 13.30 berikan pencerahan untuk mahasiswi yang akan luus kuliah tahun 2022.” Saya pun menyanggupi tawaran itu. Dan, ternyata setelah melihat data, problem pendidikan di Indonesia, bukan sebatas putus sekolah dan putus kuliah, tetapi juga kala mereka lulus perguruan tinggi.

Satu sisi kita penting bersyukur. Karena dalam data hasil Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik 2021, penduduk Indonesia yang berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi sudah 17,06 juta atau 8,31 persen dari total penduduk berusia 15 tahun ke atas.

Baca Juga: Menang itu Butuh Kesiapan

Namun di sisi lain kita penting terus berpikir, bagaimana mereka yang lulus sarjana dapat mengaktualisasikan ilmu dan skill yang mereka miliki.

Melalui media, BPS juga mengeluarkan hasil temuannya bahwa di Indonesia sarjana yang menganggur hampir tembus angka 1 Juta orang pada Februari 2021.

Dengan kata lain, problem besar pendidikan di negeri ini bukan sebatas sulit sekolah mulai dari SMP sampai Pendidikan Tinggi. Tetapi juga tidak terkaryakannya para lulusan sarjana yang ada secara optimal. Angka 1 juta sarjana menganggur itu bukan fakta biasa-biasa saja.

Faktor Penyebab

Mengapa angka satu juta itu hampir ditembus oleh pengangguran tingkat sarjana di Indonesia adalah pertanyaan penting untuk dijawab. Hal ini agar kita dapat menemukan jawaban yang tepat, sehingga problem tersebut dapat kita selesaikan bersama-sama.

Satu analisis menyebutkan hal itu karena minimnya pengalaman para sarjana, terutama yang fresh graduate yang disusul oleh beberapa faktor berikutnya.

Pertama, karena minimnya pengalaman. Kita ketahui bersama bahwa pengalaman merupakan elemen kunci untuk seseorang menjadi sukses di suatu pekerjaan atau mendapatkan pekerjaan yang lebih diinginkan.

Minim pengalaman ini didorong oleh kebiasaan para sarjana ketika masa kuliah. Sebagian besar waktu yang dimiliki tidak benar-benar dimanfaatkan untuk menimba ilmu, melatih skill dan membangun jaringan serta pertemanan.

Hasil sebuah riset menyebutkan, tidak sedikit mahasiswa yang menjadikan tugas-tugas dari dosen sebagai bantal di waktu tidur. Mereka benar-benar tidak melatih dan berusaha keras menjadi pribadi bertanggungjawab. Pilihannya jatuh pada kegiatan kongkow yang tidak produktif, main game online sampai kecanduan, serta kesana-kemari tanpa ada tujuan yang jelas dan bisa dibanggakan.

Begitu lulus, bisa ditebak bagaimana performa dari para sarjana yang masa kuliahnya diwarnai oleh beragam kegiatan yang tidak meningkatkan kapasitas dan integritas dirinya itu.

Kedua, jumlah lowongan lebih sedikit dibanding pencari kerja. Ini juga fakta yang tentu saja memang bisa ditembus oleh mereka yang betul-betul siap menghadapinya.

Ketiga, kurang peka dengan problematika sosial masyarakat, bangsa bahkan negara. Seorang mahasiswa harusnya mulai sadar bahwa diirnya lahir untuk menjadi problem solver kehidupan bangsa dan negara.

Jika coba kita lakukan sebuah survei ringan, bertanya kepada para mahasiswa perihal satu pertanyaan tentang kepekaan sosial, boleh jadi mereka belum memiliki jawabannya.

Misalnya saja, “Tindakan positif apa yang bisa dilakukan oleh mahasiswa untuk mensolusikan problematika bagnsa mulai dari pengangguran, kemiskinan dan kebodohan yang kondisinya semakin buruk setelah dihantam oleh wabah Covid-19?”

Leadership Skill

Sekalipun tidak bersifat mutlak, namun dapat dipahami dengan terang bahwa ketika masa kuliah mahasiswa mau menempa diri dalam kepemimpinan dan bahkan skill kepemimpinan, sangat mungkin ia akan terbebas dari ancaman pengangguran pasca kuliah.

Karena leadership skill mendorong seorang mahasiswa memiliki keterampilan menggunakan waktu secara bertanggungjawab, mampu berkomunikasi dan bekerjasama untuk satu tujuan yang disepakati. Serta dapat memberikan pengaruh yang positif.

Baca Lagi: Pesan Gus Baha Jauhi Malas, Itu Sumber Bahaya

Pada akhirnya, mahasiswa yang memiliki leadership skill akan mampu memberikan motivasi, mendorong bahkan meng-coach rekan kuliahnya menjadi lebih bergairah dalam menuntut ilmu dan bermanfaat bagi orang lain.

Nah, dunia kerja adalah tempat dimana seseorang tidak saja dituntut mampu menuntaskan tugas-tugas profesionalnya belaka, tetapi juga dituntut mampu melakukan upaya-upaya komunikasi dan negosiasi, sehingga dapat mencapai kemajuan yang maksimal, termasuk di dalamnya mengajak orang lain mau peduli dan berbagi.

Pertanyaannya apakah sistem pendidikan tinggi telah dirancang untuk seperti itu? Jika memang pemerintah belum merancangnya lalu bagaimana terobosan dari perguruan tinggi. Termasuk bagaimana organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan dapat memberikan jawaban atas problem besar ini. Mari sama-sama kita dududkkan dengan tepat.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment