Posisi tinggi tak jamin nyali adi. Kalimat ini muncul usai saya merenungkan mengapa saat sebuah maskapai penerbangan mendadak batal terbang, penumpang harus aktif mencari informasi.
Penumpang menjadi aktif karena pimpinan dari maskapai itu tidak turun tangan. Bahkan memberi address kepada bawahan pun tidak.
Akibatnya penumpang harus terlunta-lunta. Dan, tentu saja tidak banyak yang benar-benar sanggup menahan emosinya.
Alhasil, petugas yang tak punya otoritas harus rela menerima bentakan dan ucapan tak enak dari pelanggan.
Baca Lagi: Jangan Lelah Melahirkan Pemimpin
Dan, sampai situasi seperti itu terjadi begitu panjang (4-5 jam), para pemimpin maskapai tak ada memberikan keputusan pasti.
Dugaan
Mengapa para pemimpin maskapai itu tidak segera memberikan jawaban pasti, saya punya dua dugaan.
Pertama, mereka memang tidak terampil dalam menghadapi situasi yang mendadak seperti itu.
Kedua, mereka tidak memiliki otoritas yang jelas. Bisa saja orang duduk sebagai direktur operasional atau apapun, tetapi apakah otoritasnya penuh di tangannya?
Hal itu membuat petugas di bawah harus bekerja dengan terus menunggu keputusan pemimpinnya. Sementara penumpang tak mampu ia respon dengan cepat.
Jika (anggaplah) 100 penumpang batal terbang pada penerbangan pertama. Apa tindakan yang harus segera diupayakan oleh para pemimpin maskapai?
Mungkinkah mereka yang batal transfer ke penerbangan kedua dan ketiga. Jika tidak, maka bagaimana langkah berikutnya, dan seterusnya.
Yang jadi pertanyaan, mengapa untuk mengambil ancang-ancang seperti itu saja mereka kesulitan?
Dilema
Kepemimpinan memang bukan hal biasa. Terkadang seorang pemimpin dengan posisi sangat tinggi tak tersentuh kritik mengatur begitu leluasa sebuah ritme organisasi, sesuka hati membuat keputusan.
Kadang juga ada orang punya jabatan, tapi tidak memiliki otoritas yang memadai.
Baca Lagi: Pemimpin itu Mendengar Bahkan Bertanya
Akibat dari semua itu yang bagian bawah yang akan kerja keras, terkena imbas. Namun, saat terjadi clash dengan pihak eksternal, maka yang sering tampil kadang malah yang bukan siapa-siapa. Mengapa?*