Ahad pagi (29/9/24), saya masih di Lingga, tepatnya perjalanan dari Daik ke Selat Kongki. Sebuah pesan masuk ke handphone. Isinya, pesawat yang kupilih dalam perjalanan Batam-Jakarta memberikan informasi, bahwa keberangkatanku maju. Maju dan akhirnya mundur lagi. Tidak sama dengan ungkapan teman-teman yang selalu berkata, “Maju terus,” saat bertemu denganku.
Pesawat maju dari pukul 20:30 ke 18:15. Menerima pesan itu, saya sedikit tegang. Tetapi Bang Fatah mengatakan, cukup. Insha Allah masih bisa kita kejar. Ternyata pesawat baru bisa start pukul 20:10. Seingatku itu, karena tubuh sudah tak kuasa menahan lelah perjalanan darat laut dan akan ke udara.
Kembali ke posisi perjalanan Daik-Selat Kongki. Terang saja saya tegang, karena kemarin mengukur perjalanan Batam-Lingga tembus 4 – 5 jam. Bagaimana kalau itu juga nanti terjadi saat kembali ke Batam.
Tapi begitulah kalau orang kurang pengalaman dan pengetahuan. Mudah dihinggapi rasa takut dan sedikit tegang. Maklum, ini adalah perjalanan perdana saya ke Daik, Lingga kemudian ke Selat Kongki.
Meski demikian, saya tetap bisa fokus dan menikmati hari itu dengan penuh syukur. Terutama saat berjumpa Rani dan Ranti, kakak beradik anak suku laut yang punya cita-cita menjadi dokter.
Butuh waktu satu jam hadir dalam forum yang sama untuk Rani dan Ranti bisa mendekatiku dan bisa bercerita. Maklum, mereka jarang bertemu orang asing, jadi tidak mudah untuk langsung akrab, bertukar cerita, harapan, cita-cita dan masa depan.
Baca Lagi: Dakwah dengan Qaulan Sadida
Ada pula Rafi yang ingin menjadi penghulu. Kemudian David yang ingin menjadi seorang Ustadz. David adalah anak mualaf Selat Kongki yang paling percaya diri dan suaranya bagus saat mengaji apalagi adzan.
Ketika David membaca Alquran dan Adzan, hati langsung menangis, ingat kepada Allah. Bahwa jika Allah berkehendak kebaikan, maka kebaikan itu akan tetap bersinar, meski di titik yang jauh. Bayangkan nama Lingga saja belum tentu banyak orang tahu.
Apalagi Selat Kongki. “Dari mana dek?” Anak-anak itu menjawab, “Selat Kongki.” Anda tahu dimana itu Kongki?
Lingga-Batam
Allah selalu memberi kemudahan. Saya beruntung sekali kapal Lingga Batam tidak sama seperti yang kunaiki saat Batam-Lingga.
“Kapal ini baru, mesin melaju bagus sehingga memakan waktu 3 jam,” Bang Fatah memberikan informasi. Saya mengangguk dan bersyukur. Ya, benar, dalam kapal itu rasanya seperti berada dalam kenyamanan.
Kursi kapalnya sudah kekinian, suasana udara dalam kabin pun laksana berada dalam cafe. Nyaman, memang. Dan, betul, sampai ke Batam hanya butuh waktu 3 jam.
Tapi jangan dikiran kita bisa memilih kapal, laksana bus di terminal. Mana hari itu kapal yang datang, dengan kapal itulah kita akan berangkat ke atau meninggalkan Lingga.
Bandara
Saat duduk di ruang tunggu Bandara Hang Nadim, tiba-tiba ada pengumuman pesawat delay sampai 19:35. Artinya itu maju 1 jam dari jadwal awal.
Daripada stres saya ambil sisi positif, bisa shalat Maghrib tepat waktu. Saya pun ke mushala bandara yang harus melalui pintu A9.
Masih ada siswa waktu menunggu, saya manfaatkan video call dengan anak-anak. Kami berbagi semangat untuk semakin hari semakin yakin kepada Allah.
Tanpa Komplain?
Pas ngantuk menyerang saya mulai ada kesal. Tapi dicegah oleh pengumuman bahwa ada pembagian snack atas keterlambatan itu. Ya, kita harus bisa bersyukur dengan yang kecil sekalipun.
Meski dapat Snack itu tidak seberapa tapi saya melihat hampir semua penumpang tampak senang. Apalagi yang membawa anak-anak. Itu bisa menjadi jawaban dari para ibu untuk mengatakan kepada anaknya, bahwa kita tidak rugi sekali. Ini ada snack.
Beberapa orang tampak kulihat berdiskusi. Sepertinya mau komplain apa tidak?
Baca Juga: Kenyamanan Belum tentu Kenikmatan
Saya sendiri adalah orang yang tidak suka bersitegang dengan petugas maskapai di ujung tombak yang kadang tak tahu juga kenapa pesawat mesti delay.
Untung maskapai yang beroperasi di Indonesia, banyak penumpang sabar, setidaknya yang saya saksikan. Meski kadang ada yang mengamuk karena agendanya terkendala.
Malam itu tak ada kulihat penumpang yang komplain. Semua menerima, semua sabar. Dan, mungkin karena sikap itu, penerbangan Batam-Jakarta berjalan baik dan mudah. Take-off dan landingnya pun soft.
Lalu, apa arti dari catatan ini? Teman-teman bisa membaca bahwa menerima itu kecerdasan untuk tubuh tak terbakar emosi. Dan, syukur, serta melihat peluang tunduk kepada Allah, jauh lebih menentramkan daripada alasan rasional apapun. Karena hidup ada dalam genggaman-Nya.
Itu bagi penumpang, ya. Bagi maskapai, hendaknya lebih baik lagi dalam memberikan pelayanan. Jangan sampai penumpang Indonesia yang sabar dan mudah memahami justru membuat maskapai tak bisa membenahi diri.*