“Hadapi masalah dengan otak, bukan keinginan. lebih-lebih tanpa pertimbangan. Sedangkan orang mau beli buah saja pakai timbangan. Apalagi mau mengambil tindakan, harus lebih canggih itu alat timbangnya,” begitu Sudirman, temanku memberi pesan kepada Haryono yang baru bisa masuk sekolah karena cidera.
Masih merasa belum cukup, Sudirman mengajari Haryono tanpa jeda.
“Kamu ini, sekretaris OSIS lagi. Coba perhatikan surat keputusan itu. Bunyinya pasti, menimbang, memperhatikan, dan seterusnya, baru memutuskan,” tegasnya.
Haryono yang hanya bisa bernafas tak bisa memberi tanggapan. Datang lagi kalimat dari Sudirman.
“Jadi, kalau bertemu genangan air, kalau debitnya kecil, bisa langsung dilibas.
Tapi kalau debitnya besar, kemudian berarus, jangan main hantam. Kita yang akan terseret dan rugi luar biasa. Seperti menahan sakit karena kena bisa ular ruginya.”
Bak khtubah Jumat yang paling singkat 20 menit. Sudirman tak berhenti berkata-kata.
“Itulah perlunya kita mengerti kehidupan. Kalau main hantam, mau tidak mau ada bagian dari hidup kita yang mesti direstart. Komputer saja kalau sering eror, harus direstart bukan.
Salah ambil pertimbangan, keliru ambil keputusan. Akibatnya jelas, kalau bukan mesin kendaraan yang harus direstart, maka ada bagian badan yang harus diistirahatkan.”
Pertimbangan Teman
Itulah Sudirman, teman SMA-ku seperempat abad silam. Gaya bicaranya memang vulgar, tapi dia cermat logika berpikirnya. Setiap kalimatnya menghujam kesadaran. Menghujani akal yang tandus dari berpikir.
Baca Juga: Sahabat Penyemangat
Banjir dari sungai Mahakam kadang meluber sampai ke jalan raya. Beberapa teman izin berhari-hari masuk kelas karena cidera akibat terseret arus air saat banjir.
Motornya harus dirawat. Bukan saja lama diperbaiki di bengkel. Biayanya juga seperti makanan buaya di penangkaran, tidak murah.
Itulah temanku. Ia pandai memberi nasihat yang keren. Kecerdasannya memang tulen. Seusia itu sudah mampu berpikir panjang.
Ia memang sosok langka. Dan, seperti buah nangka, belum matang namun harum semerbak, siapapun ingin mendekat dan merasakan nikmatnya.
Bekal Membantu Sesama
Hidup ini bukan soal siapa paling tebal dompetnya semata. Tapi siapa yang paling bermanfaat bagi sesama. Bisa membantu sesama. Bukan bisa melukai yang lain.
Temanku itu memang bukan anak orang kaya harta. Tapi setiap kata-katanya bisa menjadi cahaya.
Meski begitu, ia sangat kaya dalam hal pandangan hidup. Kalau kita duduk dan memandang wajahnya akan segera keluar mutiara-mutiara penting untuk bekal hidup.
“Kalau ada teman seperti itu, jangan jauhi. Dekati sampai tak ada jarak antara dirimu dengan kebenaran,” begitu guruku, Bapak Siwa mengajari.
Dengan kekayaan seperti itu, siapapun tak sebatas hadir di bumi. Tapi juga terampil menumbuhkan orang lain dalam kebaikan. Pandai menghadapi masalah dengan prinsip atasi masalah dengan maslahah.
Bukan karena saya dapat masalah, maka semua harus gelisah, mesti gundah. Padahal ketika Indonesia siang, Amerika sedang malam. Tahukan apa artinya?*