Berapa sering kita melihat atau merasakan sendiri marah begitu mudah, sementara ibadah sangat ogah. Itu bukan gejala biasa, tapi kondisi hati yang penting untuk segera mendapat perhatian serius.
Hati manusia memang tidak bisa “berbicara” layaknya perut kala lapar atau tenggorokan kala haus. Namun, gejala dan indikasinya bisa kita rasakan langsung.
Seperti rasa malas bangun shalat, enggan membaca Alquran, tidak lagi tertarik dalam forum-forum dzikir, maka itu adalah tanda kuat hati dalam kondisi sakit, bahkan mungkin sakit parah.
Meski demikian, menyadari dan mengobati hati yang seperti itu bukan pekerjaan ringan.
Yunus Ibn Ubaid dalam surat balasan kepada saudaranya mengatakan bahwa dirinya berpuasa di tengah terik mentari, masih jauh lebih mudah daripada membebaskan diri dari berbicara keburukan orang lain (Lihat buku “A’malul Qulub” karya Dr. Khalid Utsman Al-Sabt).
KH. Abdullah Said juga dalam satu kesempatan pernah menegaskan bahwa shalat adalah ibadah yang tidak mudah, karena sepanjang pelaksanaan shalat terjadi benturan dalam hati, antara iman dan hawa nafsu. Iman mendorong kita menikmati shalat, hawa nafsu dalam hati berkata, cepat-cepat saja shalatnya.
Lebih Berdampak
Karena upaya menyehatkan hati sangat berat, maka dampaknya pun sangat jelas.
Masih dalam buku A’malul Qulub, ibadah hati mampu memperindah ibadah anggota badan.
“Ibadah hati lebih manis, lebih mengena, dan lebih baik pengaruhnya,” tulisnya.
Mengapa Rasulullah SAW mampu menjadi pemaaf? Karena hatinya jernih, bening dan bersih.
Kondisi hati yang demikian membuat Rasulullah SAW mudah bergaul dan meneladankan akhlak mulia.
Dalam kata yang lain, jika kita ingin bahagia, maka sebenarnya yang kita perlukan bukan uang melimpah dan jabatan tertinggi, tetapi terobatinya sakit yang mendera hati itu sendiri.
Baca Lagi: Jadilah Seorang Mukhbitin
Sakit yang kemudian sembuh karena kita ingat kepada Allah, lalu menikmati kehidupan dengan tunduk dan yakin kepada-Nya.
Ikhlas
Cara mendeteksi hati kita sehat itu mudah, apakah mudah ikhlas bersarang di dalam hati. Merasa cukup Allah sebagai saksi.
“Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (QS. Al-Fath: 28).
Semua ibadah seperti taat, shalat, puasa, zakat dan haji, butuh yang namanya keikhlasan. Benar-benar kita melakukannya karena ingin mendapat ridha Allah Ta’ala.
Bahkan sebenarnya ikhlas kita butuhkan sebagai landasan dalam mendedikasikan diri dengan seluruh kebaikan yang kita lakukan, semuanya untuk Allah.
Jelas ini tidak mudah, tapi dengan istiqomah Allah pasti akan berikan jalan terbaik, untuk kita menjadi insan yang sehati hatinya, penuh kebaikan seluruh anggota tubuhnya.*