Bejo senyam-senyum. Matanya berbinar usai membaca sebuah meme bahwa sosok yang ia idolakan akan jadi Capres. Tetapi Asep tak setinjauan dengan Bejo. Ada kandidat andalan yang Asep punya juga akan jadi capres. Perdebatan soal capres pun memanas.
Namun, mereka sepakat bahwa masing-masing harus punya data dan argumentasi kuat.
Baca Juga: Memilih Presiden
“Jangan sampai terpedaya tukang oles yang kerjanya menyanjung capres tertentu sembari merendahkan capres yang lain. Padahal track recordnya ambles, tukang wadul,” Asep mengingatkan.
Bejo mengangkat tangan tanda minta tos ke Asep sembari terus menyeringai. Pak Daeng hanya mencermati dari kejauhan sambil terus melakukan pekerjaan hariannya.
Waktu Panas
“Jo, capresku ini orangnya bageur. Pendukungnya koalisi besar partai politik. Pasti ini akan jadi pilihan rakyat dan capresku akan menang,” Asep mulai memanaskan pembalahan.
“Jangan salah, Sep. Capresku ini asli uuuapik tenan. Banyak buzzernya, influencer rata kanan dari semua kalangan. Jadi, ini akan bisa mengambil hati rakyat. Menanglah nanti capresku ini,” ujar Bejo membantah.
“Tapi kulihat capresmu gak bisa kerja. Janjinya saja banyak gak jadi nyata. Mau kamu makan mimpi,” Asep mulai memintas kampanye Bejo.
“Siapa bilang. Jangan black campaign ya. Kulihat capresmu juga suka main politik identitas. Kalau tidak ada itu, gak akan tuh bisa maju capres,” balas Bejo.
“Halah, pokoknya capresku yang akan menang.” Asep mulai terbakar emosi.
“Mana, bisa. Jelas capresku lah.” Bejo tak mau kalah.
“Dasar kamu, Jo, gak bisa membaca dengan baik. Masak capresku kalah,” Asep semakin terbakar.
“Sep, kita lihat nanti. Pasti kamu salah baca. Capresku ini yang akan menang. Dia dapat dukungan king maker, Sep.”
Hingga larut malam, debat capres itu masih berlangsung. Keduanya hanya bertahan pada pandangannya masing-masing.
Tidur, Sudah Malam
Pak Daeng datang dan langsung memberikan timbangan akalnya.
“Kalian ini dari tadi kupantau debat terus soal capres. Tidak akan ada akhirnya sawala macam begitu. Ini sudah malam. Mau sampai kapan begitu,” ucap Pak Daeng sembari pasang posisi siap tidur.
“Yang pasti, yang jadi presiden nanti yang Tuhan tetapkan. Kalau kalian mau presiden yang apa bahasamu, Sep tadi, e…., bageur begitu. Kalian harus bageur. Pilihlah kandidat yang bageur. Lahir sudah presiden bageur.” Pak Daeng seperti lupa posisi tidurnya. Ia semakin semangat menembakkan perkataan.
Asep dan Bejo menyimak seksama. Pak Daeng tampak masih akan memberi syarahan.
“Capresmu, Sep. Capresmu, Jo. Tidak perlu kau jelaskan apa unggulnya.
Kamu sendiri raba dalam batin, mana yang punya mental kepahlawanan. Itu yang dipilih.
Baca Lagi: Yang Membahagiakan
Ah…sudahlah, kalian belajar ilmu sejarah, tahu pahlawan, giliran cari capres banyak debatnya daripada meneliti mana capres yang siap mati demi rakyat. Sok mikir politik, padahal tahunya cuma debat, debat kusir.”
Asep dan Bejo hanya bisa melongo. Keduanya tak bisa berbicara lagi.
Ucapan Pak Daeng bahwa yang harus jadi pilihan soal Capres yang siap seperti pahlawan, memaksa mereka membongkar file dalam benak masing-masing, apakah kandidatnya punya karakter itu.
Gerrrr….. Pak Daeng sudah tidur. Dengkuran itu membuat Asep dan Bejo semakin sulit untuk tertidur.
Sambil menarik selimut melingkupi wajah, masing-masing tersenyum.
Keduanya tersimpul pada diri sendiri yang kadang seperti orang bodoh, berdebat soal politik yang nantinya politisinya tetap berangkulan. Bagi-bagi kekuasaan.
Apalagi kalau kepentingannya sama. Sementara di bawah dibuat baku hantam. Benar-benar sulit dinurul, eh dinalar.*