Setengah hari kemarin saya punya kewajiban mendampingi berlangsungnya webinar tentang Team Building yang menjadi gelaran Muslimat Hidayatullah. Hadir sebagai keynote speaker adalah Ustadz Asih Subagyo. Sementara itu narasumber adalah Ustadz Dr. Muzakkir, M.Ed. Kalimat yang sangat kuat bagi saya adalah pentingnya kita hadirkan kemampuan berpikir “mengapa.”
Terkait betapa pentingnya seseorang mampu menjawab berpikir mengapa, Direktur Hidayatullah Institute itu memberikan contoh perihal perilaku kebanyakan orang dalam belajar bahasa Arab atau bahasa Inggris.
“Bukankah kita semua pernah belajar bahasa Arab atau bahasa Inggris sejak anak-anak. Akan tetapi mengapa baru sekarang kita menyadari bahwa bahasa Arab penting untuk memahami Alquran.
Baca Juga: Inilah Pemimpin yang Gemar Diskusi Ilmiah
Kemudian bahasa Inggris urgen untuk pergaulan dunia. Nah, ketika kita sekarang sadar bahwa bahasa itu penting, kita telah sampai pada cara berpikir mengapa. Sikap kita pun akan berbeda kala mempelajari bahasa itu. Berbeda jauh dengna kondisi kala anak-anak yang belajar sekenanya saja,” urainya.
Dalam kata yang lain, orang yang mampu berpikir mengapa dia akan memiliki kesadaran, alasan, bahkan tujuan mengapa ia harus melakukan ini dan itu. Tetapi, orang yang tidak mau berpikir mengapa, maka ia akan melakukan apapun, sedangkan ia tidak tahu mengapa ia melakukan sesuatu.
Pembentuk Keyakinan
Berpikir mengapa akan memberikan buah yang jelas, yaitu keyakinan. Ketika seseorang sadar, mengapa dirinya harus menyembah Allah, maka ia akan melakukan apa pun untuk menjadi yang terbaik sebagai hamba Allah.
Pada akhirnya ia akan memiliki tujuan, fokus dan komitmen di dalam dirinya, sehingga ia bisa membedakan antara apa yang harus ia lakukan dengan apa yang sekedar dia inginkan.
Dalam kata yang lain, berpikir mengapa akan jadikan seseorang memiliki visi, tujuan dan keteguhan hati, sehingga ia memiliki pengaruh dalam kehidupan, bahkan mungkin sampai kapanpun.
Lihat saja sahabat Bilal bin Rabah, beliau bertanya mengapa dalam Alquran, manusia Allah ciptakan dari segumpal darah. Sementara realitas mendudukkan Bilal sebagai budak. Ia pun kemudian sampai pada fase keyakinan bahwa Alquran itulah yang benar, maka ia pun memegang teguh iman dalam dadanya, walau harus bertaruh nyawa.
Aksi Bilal itu bukan sebatas sejarah pribadi, itu menjadi bagian dari sejarah Islam, bagaimana umat yang akhir zaman ini menjalani kehidupan dengan keyakinan utuh bahwa Islam adalah jalan keselamatan.
Gemar Diskusi Temukan Fakta
Satu ulasan yang juga sangat menarik bahkan penting yang Ustadz Muzakkir paparkan ialah orang yang memimpin dan ia paham betul bagaimana berpikir mengapa, pasti akan gemar diskusi untuk temukan data dan fakta.
Jadi, pemimpin itu adalah panglima pemecahan masalah. Bagaimana seorang pemimpin akan menuntaskan tugas sebagai problem solver jika ia tidak mau mendengar dan enggan berpikir secara utuh.
Oleh karena itu pemimpin yang mengerti, pasti akan gemar melakukan diskusi dan melakukan penggalian data dan fakta.
Baca Lagi: Anak Muda Harus Siap Memimpin
Bahkan apabila dalam musyawarah ada begitu banyak masukan, usulan dan pendapat atau pemikiran, maka pemimpin yang mengerti berpikir mengapa akan cenderung untuk mempertimbangkan pendapat yang berbasis data. Bukan rasa-rasa ataupun asumsi belaka.
Lebih jauh apabila keberhasilan berhasil diraihnya, ia tidak akan membusungkan dada dengan berkata, “Ini semua karena saya.” Tetapi ia akan mengatakan, “Inilah hasil kerja tim, kita semua yang satu sama lain saling menguatkan.”
Namun, untuk sampai pada kapasitas itu, seseorang tidak cukup hanya dengan bekal ilmu, tetapi juga iman, sehingga hatinya selamat dari perasaan negatif, seperti suka merendahkan bawahan. Mencari-cari kesalahan bawahan. Namun kalau ada kebaikan atau keuntungan, tanpa sadar, ia lupa memikirkan bawahannya.*