Home Kajian Utama Penting Melihat Wajah Negeri
Penting Melihat Wajah Negeri

Penting Melihat Wajah Negeri

by Mas Imam

Harus ada kejujuran yang hadir untuk melihat secara jernih seperti apa sebenarnya wajah negeri bernama Indonesia ini.

Secara konstitusi negeri ini punya UUD 45 dan Pancasila. Tapi alih-alih maju dengan dua “pusaka” itu, antar kelompok di negeri ini malah mudah sekali berseteru atas klaim Pancasilais dan tidak Pancasilais.

Sementara itu setiap hari terjadi kondisi yang saling berpaling. Presiden dan DPR gembira karena membahas dan mengesahkan UU Ibu Kota Negara (IKN). Sementara rakyat kondisinya seperti ikan di kolam pemeliharaan, berebut, berdesa-desak sekedar untuk dapat minyak goreng (migor) dengan harga Rp 14 ribu.

Baca Juga: Keindahan Bunga untuk Masa Depan Bangsa

Indonesia seperti telah kehilangan visi, pemimpin kemana, rakyat bagaimana. Ide-ide besar dan program mercusuar kadang lebih menjadi masalah dan beban besar pada akhirnya daripada kebanggaan bersama. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung misalnya. Pembangunan bandara yang salah kalkulasi dan akhirnya menjadi sepi atau mungkin sudah mati.

Pandangan Hehamahua

Sebuah analisa dari Abdullah Hehamahua dalam bukunya “Membedah Keberagamaan umat Islam Indonesia Menuju Masyarakat Madani.”

Masyarakat dan pemimpin yang tak lagi sinkron perasaan, fokus dan idealismenya maka itu semua terjadi akibat paham materialisme yang telah merasuk ke masing-masing elemen bangsa.

“Konsekuensi logis dari kehidupan materialistik adalah orang akan stres ketika tidak memiliki harta pangkat jabatan atau cita-citanya tidak tercapai.

Akhir perjalanan manusia seperti ini adalah menjadi gila atau bunuh diri.

Kita biasa menyaksikan berita di TV atau membaca di surat kabar, selesai Pemilu legislatif, banyak caleg yang masuk rumah sakit. Bahkan ada yang bunuh diri atau terkena serangan jantung.

Menurut Direktur WHO, bidang kesehatan mental, rakyat Indonesia yang meninggal karena bunuh diri, sebanyak 24 orang dari 100 orang. Berarti, rakyat Indonesia yang mati karena bunuh diri dalam setahun sebanyak 50 ribu orang.”

Di sisi lain, kata Hehamahua, mereka yang tercapai cita-cita (materialistiknya) memiliki rumah megah, mobil mewah, deposito dan simpanan uang di pelbagai bank (dalam dan luar negeri). Namun sayang, golongan ini mengakhiri hidupnya di penjara karena tuduhan korupsi.

Jadi, amatlah penting masing-masing jiwa saat ini, mulai dari rakyat sampai pejabat merenungkan kembali hendak kemana sebenarnya melangkahkan negeri ini ke depan.

Isu Receh

Sebagai bangsa dan negara yang telah lebih 70 tahun merdeka apakah patut isu yang berkembang di negeri ini selalu receh, tidak penting, berlebihan dan tidak membawa kemajuan kesadaran serta berpikir masyarakat.

Headline media yang kemudian ramai di media sosial selalu tentang hal-hal yang tidak strategis. Termasuk suguhan fakta masyarakat, selalu tentang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup lalu datang pihak tertentu bak pahlawan, seakan memberikan pertolongan. Padahal sejatinya itu adalah bentuk kelalaian dalam menjalankan tugas melayani masyarakat.

Kasus minyak goreng Rp. 14 ribu, media menuiskan dengan judul yang “menarik”, “Migor Murah Ludes dalam Hitungan Jam” (Republika, 20 Januari 2022.

Itu berarti masyarakat kita sangat senang dengan minyak goreng dengan harga murah. Pertanyaannya mengapa harga minyak goreng sampai mahal sehingga perlu kebijakan pemerintah menetapkan banderol Rp. 14 ribu.

Kemudian ungkapan seorang wakil rakyat yang marah-marah karena ada Kajati berbahasa Sunda. “Ganti Pak itu. Kita ini Indonesia Pak. Nanti orang takut, kalau pakai bahasa Sunda ini orang takut, ngomong apa, sebagainya. Kami mohon yang seperti itu dilakukan tindakan tegas,” katanya yang ramai dirilis media.

Jati Diri Bangsa

Lebih jauh, kebijakan terkadang seakan tidak jelas dengan jati diri bangsa. Katakanlah seperti proyek moderasi agama yang angka anggarannya naik 8 kali lipat daripada anggaran tahun 2021 yang hanya Rp. 400 miliar menjadi Rp. 3,2 triliun (lihat Islamia Republika, 20 Januari 2022).

Padahal, menurut Dr. Syamsuddin Arif, moderasi agama sebenarnya telah menjadikan umat Islam sebagai mitra sekaligus target.

“Walhasil terjadilah perpecahan dan permusuhan antara sesama umat Islam yang berbeda kedudukan, organisasi, partai politik, dan mazhab. Saling curiga dan saling menyerang pun tak terhindarkan. Yang tembak menembak sama-sama orang Islam. Baik pelaku maupun korban saudara seiman, tetapi bermusuhan karena berbeda pandangan dan haluan.” (Islamia Republika).

Dan, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi. Menarik ungkapan dari Prof. DR. Hamid Fahmy Zarkasyi dalam Misykat dalam Islamia-Republika berjudul “Modernisme.”

Baca Lagi: Menulislah untuk Umat Bangsa dan Negara

“Maka dari itu, jika di negeri yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa ini ada yang mengeklaim dirinya agnostik, ateis, liberal, sekuler, rasionalis, positivist dan sebagainya, sejatinya dia sedang mengingkari jati dirinya sendiri, bahkan menantang ideoogi bangsanya sendiri.”

Jadi, kemana sedang melangkah bangsa ini? Kemana elit bergerak dan bagaimana kondisi rakyat sehari-hari. Akankah kita masih mau baku hantam antar sesama anak bangsa, bahkan internal umat Islam sendiri karena “agenda” asing yang seakan ramah dan membangun?*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment