Tawadhu ini bahasan sangat klasik di dalam Islam. Tetapi, bagaimanapun klasik, tawadhu ini diperlukan oleh setiap insan di segala zaman, termasuk era digital ini. Dan, kali ini kita akan ulas tawadhu ala Gus Baha, maksudnya yang dijelaskan oleh KH Bahauddin Nursalim.
Secara pengertian tawadhu ialah sikap tenang, rendah hati, dan tidak sombong. Jadi, kalau sikap tawadhu ini ada di dalam sistem kesadaran presiden dan menteri, boleh jadi negeri ini isi beritanya bukan A bilang B, C bantah D dan seterusnya.
Tetapi karena tawadhu masih dianggap bahasan agama (Islam) dan dinilai tidak perlu hadir menjiwai sikap politisi dalam berpolitik, di sinilah kemudian kegaduhan di negeri ini sulit dihindarkan. Apalagi kalau sudah bicara jabatan, maunya terus dipegang dan kalau bisa tidak turun-turun dari jabatan sampai tiba hari kematian.
Baca Juga: Hidup Tanpa Susah dan Gelisah, Begini Caranya
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu (rendah hati) karena Allah, melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim).
Artinya, siapa tidak tawadhu di dalam hidup ini, maka ia menjadi orang yang rendah derajatnya.
Itu berarti bahwa siapa saja yang tidak tawadhu, termasuk politisi, ketua partai, sampai menteri dan presiden, maka mereka adalah orang yang rendah derajatnya di hadapan Allah.
Uraian Gus Baha
Tawadhu memang tak semudah mengucapkannya secara lisan. Oleh karena itu kata Gus Baha, kalau tidak bisa tawadhu secara rasa, tawadhu-lah secara ilmu.
“Dalam kita beragama itu yang paling ditekankan itu tawadhu. Tawadhu itu merasa sopan atau memang sopan betul. Kalau dalam Ihya’ disebut, ‘sekiranya Anda tidak bisa tawadhu secara rasa, (maka) tawadhu-lah secara ilmu. Karena ilmu itu akan abadi.'”
Gus Baha melanjutkan, “Saya beri contoh begini, saya ini kan, misalnya, Kyai di kampung saya atau di kecamatan saya.
Saya ini mungkin merasa hebat karena saya tokoh di sini. Tapi saksikan sebelum ada saya yang bernama Baha ini, agama sudah jalan.
Dan, di daerah lain, yang gak kenal saya, agama juga jalan. Betapa tidak pentingnya saya di kawasan-kawasan yang gak butuh saya. Atau era yang belum ada saya.
Nah, dengan ilmu seperti itu, orang pasti tawadhu. Karena dia tahu, daerah yang gak ada saya ya, ternyata ada masjid ada agama (Islam).
Periode sebelum ada saya juga agama jalan, sehingga kita gak kumoluhur (sombong), kalau gak ada saya agama gak jalan. Zaman wali songo gak ada saya, agama ya jalan.
Ekonomi juga gitu. Kalau Anda pakar ekonomi yang mensejahterakan rakyat, cara tawadhu-nya kalau gak bsia dengan rasa dengan ilmu.
Sebelum adanya kamu banyak orang kaya. Banyak orang yang gak kenal kamu juga kaya. Banyak periode belum ada Anda juga kaya. Jadi, kita ini gak siapa-siapa.”
Terima dan Terapkan
Penjelasan tawadhu dari Gus Baha ini sudah seharusnya diterima dan diterapkan, terutama oleh para elit partai, para pejabat, menteri sampai presiden dan seluruh elemen bangsa, tentu saja yang beragama Islam.
Dengan cara seperti itu, maka nuansa yang akan tampil di permukaan kehidupan, bahkan sampai ke sisi yang terdalam bangsa ini adalah kedewasaan, keteduhan, kesalingpahaman.
Sekarang kalau mau diukur dengan timbangan tawadhu secara ilmu, siapa sih menteri A, B sampai J itu?
Kemudian, siapa sih direktur lembaga survey A, B, C hingga K itu?
Atau kita lihat dalam konteks pribadi, siapa diri saya di dalam kehidupan umat, bangsa dan negara ini.
Dengan cara begitu maka insha Allah potensi gesekan bahkan sampai perpecahan dapat dihindarkan. Dan, nikmat termahal dari Allah Ta’ala kepada bangsa ini ialah iman dan persatuan.
Baca Lagi: Mudahnya Memahami Kiamat dalam Versi Gus Baha
Jadi, bisa dikatakan, presiden yang tawadhu, gubernur yang tawadhu, bupati yang tawadhu bahkan kepala desa yang tawadhu adalah orang yang diperlukan bangsa ini berubah menjadi lebih baik.
Dan, dalam dunia politik, sikap tawadhu ini sangat dibutuhkan, agar kelak kampanye dan narasi para poltisi itu membangun, bukan menjatuhkan. Allahu a’lam.*