Dalam Islam tidak sulit orang menemukan deretan nama pemimpin yang kehadirannya membawa kemaslahatan besar. Bahkan setelah kematiannya pun, dunia masih mengingat dan mengambil inspirasi kepemimpinannya.
Kunci dari itu semua tiada lain adalah karena mereka memadukan spitualitas dan kepemimpinan. Semakin tinggi dan luas amanah kepemimpinan yang diemban semakin kuat komitmen spitualnya.
Hal itu bisa dilihat dari sosok Nabi Muhammad SAW, yang tak pernah melewati malam, melainkan dengan munajah kepada Allah Ta’ala dengan qiyamul lail. Sebuah riwayat menyebutkan, itu semua dilakukan hingga kedua tapak kakinya membengkak.
Kemudian ada nama Umar bin Khathab radhiyallahu anhu. Ia adalah sosok pemimpin yang kalam malam tak pernah lelah keliling kota bahkan ke pinggiran untuk memantau langsung kondisi rakyatnya. Kala itu, semua dilakukan tanpa pencitraan.
Baca Juga: Musibah itu Kini Hadirkan Kisah Luar Biasa
Tidak itu saja, Umar adalah pemimpin yang suka dengan nasihat ilmu, sehingga ia tak pernah ragu untuk mengubah dan mengganti kebijakannya yang memang tidak relevan dengan tuntunan Islam.
Telinganya Pemimpin Seperti Umar
Suatu waktu ia naik mimbar dan mengatakan bahwa janganlah mempermahal mahar wanita. Umar beralasan karena Rasulullah SAW tidak melakukan hal itu.
Namun, kala turun dari mimbar seorang wanita mendatangi Umar lantas ia berkata. “Wahaim amirul mukminin, apakah kitab Allah yang berhak kami ikuti ataukah ucapanmu?”
Umar spontan menjawab, “Tentu Alqruan yang lebih berhak diikuti. Bagaimana maksudmu?”
Wanita itu berkata, “Engkau baru saja melarang untuk memberi mahar yang lebih banyak dari mas kawin Rasulullah. Padahal Allah Ta’ala berfirman.
“Dan kalian telah memberikan pada salah satu wanita harta yang banyak sebagai mas kawin….”
Umar pun merenung. Lantas ia berkata, “Setiap orang lebih paham agama daripada Umar.”
Ia pun mengulang perkataannya itu hingga tiga kali. Lantas ia pun segera naik ke mimbar dan kembali mengumumkan.
“Hadirin sekalian, aku telah melarang kalian memberi mahar lebih dari mahar Rasulullah SAW. Ketahuilah bahwa aku cabut pernyataanku. Dan, sekarang lakukanlah apa yang maslahat bagi kalian. Aku tidak membatasi. Selama tidak bertentangan dengan syariat.”
Demikianlah Umar, luar biasa sekali. Jadi, kalau sejarawan Inggris Lord Acton mengatakan bahwa pemimpin cenderung menyalahgunakan kekuasaan karena kewenangan tak terbatas dan faktanya memang demikian.

rakyat biasa pun hakikatnya pemimpin
Bagi kita, sebenarnya karena pemimpin itu kering akan spiritualitas, sehingga lalai kalau ada Allah Yang Maha Kuasa yang Maha Segala-galanya. Kemudian ia dengan seenaknya berlaku menyimpang dari kebenaran.
Buruknya Mental Pemimpin Masa Nabi Nuh
Sekarang, kita bukanlah seorang pemimpin dalam arti penguasa yang bisa mengambil kebijakan arah pembangunan dan kemajuan negeri ini. Namun, dalam Islam, setiap diri kita hakikatnya adalah pemimpin.
Dalam konteks ini, maka sebagai rakyat biasa, sebagai kaum, kita tidak seperti kaum Nabi Nuh.
Seperti apa kaum Nabi Nuh itu diuraikan dengan lengkap oleh Ash-Shallabi dalam bukunya Nuh Alayhissalam Peradaban Manusia Kedua.
Pertama, sombong. Begitu sombongnya, mereka sampai menutup telinga setiap kali Nabi Nuh mendakwahkan kebenaran Islam. Akibatnya, kaum Nabi Nuh benar-benar terututp dari kebenaran.
Kedua, gemar menentang dan membangkang. Itu tidak lain karena mereka membiarkan sikap keras kepala, sehingga mereka sama sekali tidak sempat dan mau merenungi, memikirkan, nasihat-nasihat Nabi Nuh.
Ketiga, taklid buta. Taklid mereka adalah kepada cara berpikir dan berbudaya nenek moyangnya. Kemudian mereka tidak menjadikan pemimpin kecuali orang yang banyak harta dan anak (QS. Nuh: 21).
Itu berarti, bisa diilustrasikan dimasa sekarang, kala itu kaum Nabi Nuh hanya mendengar ungkapan orang kaya dengan beragam media dan argumentasi serta pembagian yang tak seberapa yang mereka terima dari orang-orang kaya itu.
Baca Juga: Songsong Indonesia 2045 dengan Senang Ilmu
Pantas jika Ustadz Abdul Shomad pernah bertanya, apakah jika kita di zaman Nabi Musa pasti akan ikut Nabi Musa? Ketika jamaah menjawab, iya. Ustadz Abdul Shomad menjelaskan, yang membangun jalan Fir’aun, yang membangun sekolah Fir’aun. Apakah masih mau ikut Nabi Musa?
Kesimpulan
Pada akhirnya, mari perkuat semangat dalam diri kita untuk menghidupkan energi spiritualitas, insha Allah itulah jalan terbaik agar kegelapan alam ini tidak menghalangi ketajaman pandangan hati kita pada kebenaran.
Seperti kata pepatah, kala kegelapan melanda, hendaklah kita mencari cahaya atau bahkan kalau bisa, jadilah cahaya itu sendiri. Tidak peduli seberapa terang, yang penting bisa menerangi diri dan orang di sekeliling.
Suatu saat jika ini telah mendarah daging pada sosok seorang pemuda hari ini, anak-anak di masa sekarang. Dan, jalan memimpin itu terbuka, maka memasukinya pun dengan kesiapan mental yang kokoh. Bahwa memimpin berarti mencerahkan, mensejahterakan, dan memajukan lahir batin kehidupan umat manusia. Bukan malah foya-foya lalu menjadi gila. Na’udzubillah.
Mas Imam Nawawi Perenung Kejadian
Bogor, 7 Jumadil Akhir 1442 H