Home Artikel Pemimpin Tuli
pemimpin tuli

Pemimpin Tuli

by Imam Nawawi

Orang sering mengatakan, semakin dalam ilmu seseorang, semakin ia merasa sedikit ilmu. Ungkapan indah yang tidak berlaku bagi banyak orang yang jadi pemimpin. Sebagian besar pemimpin biasa memilih jadi tuli.

Pemimpin yang tuli memang masih bisa melihat. Tetapi mata tidak sama dengan telinga.

Orang buta yang bisa mendengar, masih mungkin jadi orang cerdas. Perhatikan saja, selalu ada orang yang walau tunanetra masih bisa hafal Quran, bahkan bacaan Alqurannya begitu bagus.

Baca Juga: Pemimpin itu Mendengar Bahkan Bertanya

Tetapi orang yang tuli, biasanya akan bisu. Karena ia tidak dapat menerima informasi dari pendengaran.

Dan, pemimpin yang sengaja memilih tuli bukanlah orang yang kehilangan pendengaran. Ia memilih hidup dengan rayuan kebodohan, tipuan ego, kenaifan, kecerobohan dan ketidakpedulian.

Ketika pemimpin terkena penyakit tuli itu, maka ia akan menjadi manusia yang kehilangan kemanusiaan. Kalau bicara keuntungan, maka itu harus dirinya.

Al-Farabi filsuf Muslim mengatakan bahwa orang atau bangsa yang tahunya hanya kesenangan lahiriah, maka orang atau bangsa itu terkena virus kejahiliyahan (kebodohan parah).

Palu dan Paku

Pemimpin menjadi tuli boleh jadi karena terlalu percaya terhadap yang namanya perspektif tunggal.

John C. Maxwell memberikan ilustrasi menarik dalam bukunya “Good Leader Ask Great Question.”

Bahwa seorang pemimpin bisa menjadi “otoriter” karena perspektif tunggal. Hanya cara pandangnya yang benar, orang lain salah.

Menyadari hal itu Maxwell ingat pesan Larry Stephens, “Jika satu-satunya alat yang Anda punya adalah palu, Anda cenderung memandang semua masalah sebagai paku.”

Maxwel lalu menulis, “Sayalah palu itu dan semua orang lain adalah paku.” Hajar saja!

Ilmu

Pemimpin akan selamat dari ketulian hanya kalau ia tidak mau berhenti belajar, selalu mau menuntut ilmu.

Rasulullah SAW adalah pemimpin luar biasa, tetapi beliau SAW tidak pernah memilih jadi pemimpin tuli.

Bahkan beliau SAW meneladankan musyawarah dalam hal proses dan tahapan untuk menetapkan keputusan.

Baca Lagi: Jangan Lelah Melahirkan Pemimpin

Artinya, pemimpin yang tidak tuli akan senang dengan musyawarah. Dia tidak merasa pikiran, ucapan dan tindakannya suci, sehingga tidak bisa dikoreksi atau dievaluasi.

Tetapi pemimpin yang tuli, sukanya menguji bawahan dengan istilah “ketaatan.”

Dan, begitu dia coba menguji bawahan, bukan mendengar atau mengerjakan ujian.

Bawahan lebih bahagia memilih pergi daripada menjadi bahan uji coba orang yang punya kedudukan dan sedang diperbudak ambisi.

Itulah pemimpin tuli. Maunya menang sendiri. Sukanya enak sendiri.*

Mas Imam Nawawi

Related Posts

Leave a Comment