Pemimpin itu harus asli, tulen. Begitu tidak asli alias palsu, eksistensinya menjadi akar dari setiap kerusakan.
Normalnya pemimpin itu satu, bertanggung jawab, peduli dan siap berkorban.
Tetapi begitu yang jadi pemimpin adalah yang palsu, tidak tulen, maka ia hanya akan pandai menipu.
Baca Juga: Jangan Lelah Melahirkan PEMIMPIN
Ia bukan lagi berpikir kemajuan rakyat, tetapi bagaimana menjadi konglomerat.
Akal dan pikirannya cuma satu, sibuk cari konsep mencuri, menipu, lalu tampil sebagai sosok yang berlapis-lapis topeng. Ya, topeng kepalsuan.
Tak Mampu Bekerja
Seperti ban motor yang palsu, ia berharga murah dan tidak mungkin tahan lama.
Sekalipun dipasang oleh montir ahli, kualitas ban akan menampakkan dirinya, tak mampu diajak bekerja apalagi dalam tempo lama.
Ia akan mengelupas, terkikis, dan akhirnya terkena kerikil kecil pun akan terlubangi, bocor, mengeluarkan angin yang seharusnya ia jaga, ia pertahankan.
Begitu pun pemimpin yang tidak asli. Hanya bisa membuat kerugian, masalah dan mafsadat.
Tapi anehnya, manusia suka dengan tipuan, yang penting murah. Dan, mungkin itu yang Tuhan sebut bahwa dunia ini adalah rendah dan murah.
Kalau mau selamat, jangan pernah tukarkan akhirat dengan harga yang rendah dan murah.
Termasuk 2024 jangan jual suara dengan harga murah, walau sampai Rp. 10 juta per orang, karena itu akan menghasilkan pemimpin palsu.
Teliti dan Tetapkan
Soal pemimpin bukan soal sederhana. Oleh karena itu untuk beberapa kaum terdahulu Allah pilihkan sendiri para pemimpin (aimmah) dari kalangan terbaiknya, yaitu Nabi dan Rasul.
Namun sekarang sudah akhir zaman, Nabi terakhir telah menuntaskan tugasnya, yakni Nabi Muhammad SAW.
Baca Lagi: Membangun Miniatur Peradaban Islam
Tugas kita cukup mengkaji, meneliti, bagaimana kriteria pemimpin sebenarnya dalam Alquran, kemudian terapkan untuk menghasilkan pemimpin yang berada pada jalan yang lurus.
Setidak-tidaknya pemimpin yang kelak menguasai kehidupan bangsa dan negara ini bukan sosok yang gemar menyusahkan rakyatnya.
Tak ada yang bisa menjamin pemimpin itu akan lahir sendiri atau tidak. Tetapi kita punya ruang ikhtiar mengupayakannya.
Dalam tatanan demokrasi, Pemilu itulah momentumnya. Oleh karena itu berhenti masa bodoh alias bodo amat terhadap politik. Bacalah, bacalah dan bacalah!*