Pemimpin itu Mendengar Bahkan Bertanya. Ulasan ini penting, karena betapa terkadang ada seseorang yang kala memimpin merasa dirinya gudang pengetahuan, serba bisa dan pikirannya ia anggap laksana sabda suci Nabi.
Alquran saja yang jelas firman Allah Ta’ala, memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada manusia. Seperti, “Tidakkah kamu memperhatikan.” Kemudian, “Apakah kamu tidak memikirkan” dan seterusnya.
Baca Juga: Jangan Lelah Melahirkan Pemimpin
Sekalipun itu bukan pertanyaan tanpa alasan dan bukan berarti Tuhan butuh keterangan dari kita yang lemah.
Tetapi Allah ingin manusia berpikir sehingga mau berdzikir, kemudian tunduk dan taqarrub kepada-Nya.
Cerita Maxwell
John C Maxwell tentu banyak orang tahu. Ia memberikan pengalamannya perihal bagaimana mendengar dan bertanya itu penting baginya dalam memimpin.
Ia menuturkan bahwa dalam memimpin ia selalu bertanya, bahkan mau mendengarkan opini bawahannya.
Bukan karena Maxwell tidak tahu, tetapi ingin melihat pola pikir dan daya observasi sang bawahan.
Bahkan Maxwell memberikan alasannya mengapa ia bertanya. Jadi, bukan bertanya yang menguji atau mengetes lalu setelah mendapatkan jawaban, itu kita tolak, karena kita sebagai pemimpin merasa lebih hebat.
Sebagian orang mungkin pernah Anda temui begitu sikapnya dalam bertanya atau meminta pandangan.
Usai bertanya dan mendengarkan opini bawahannya Maxwell mengajaknya untuk terlibat dan semakin sering berdiskusi, tentu saja bertanya dan mendengar. Melalui cara itu, Maxwell berhasil mendidik dan malahirkan pemimpin baru.
Teladan Nabi SAW
Ketika saya mendahulukan cerita Maxwell bukan berarti saya menomorduakan idola saya, Nabi Muhammad SAW.
Kadang orang yang sekadar membaca, apalagi yang tidak tuntas dalam membaca, komentarnya lebih tajam daripada mata dan hatinya memahami tulisan.
Nabi SAW sering ketika bersama sahabat lalu melontarkan pertanyaan. Seperti kala melihat bangkai kambing di pasar.
Nabi SAW bertanya, “Siapa mau membeli bangkai kambing itu?”
Sahabat merasa pertanyaan Nabi SAW itu janggal. Tetapi itu pasti bukan pertanyaan biasa.
Maka sahabat selalu menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
“Keindahan dunia ini, semuanya, tidak lebih baik dari bangkai kambing itu,” Nabi menjelaksan.
Tentu saja para sahabat memahami akhirnya bahwa dalam kehidupan dunia ini tidak ada kemuliaan kecuali ada iman dalam dada.
Tidak bermanfaat kekayaan kalau tidak untuk menolong agama Allah.
Baca Lagi: Sadar sebagai Pemimpin
Bagi yang lain, tidak perlu bersedih kalau tidak mendapat kekayaan dunia, apalagi harus dengan melakukan transaksi gelap hingga Rp. 300 triliun.
Hanya ketika pemimpin mau memberikan alasan bertanya, lalu menanyakan pandangan yang dipimpin, lalu memberikan penjelasan, maka pencerahan berlangsung kala itu.
Lalu bagaimana kalau ada pemimpin yang merasa sebagai raja, yang tak boleh ada banyak orang berbincang dengannya, bahkan ia tidak mau sembarang orang di bawah menyentuh tangannya, sekadar untuk bersalaman?*